AMIR
HAMZAH
Sastrawan
Pujangga Baru
Amir
Hamzah lahir sebagai seorang manusia penyair pada 28 Februari 1911 di Tanjung
Pura, Langkat, Sumatera Utara. Ia seorang sastrawan Pujangga Baru. Pemerintah
menganugerahinya Pahlawan Nasional. Anggota keluarga kesultanan Langkat bernama
lengkap Tengku Amir Hamzah Indera Putera, ini wafat di Kuala Begumit, 20 Maret
1946 akibat revolusi sosial di Sumatera Timur.
Sebagai
seorang keluarga istana (bangsawan), ia memiliki tradisi sastra yang kuat.
Menitis dari ayahnya, Tengku Muhammad Adil, seorang pangeran di Langkat, yang
sangat mencintai sejarah dan sastra Melayu. Sang Ayah (saudara Sultan Machmud),
yang menjadi wakil sultan untuk Luhak Langkat Bengkulu dan berkedudukan di
Binjai, Sumatra Timur, memberi namanya Amir Hamzah adalah karena sangat
mengagumi Hikayat Amir Hamzah.
Sejak
masa kecil, Amir Hamzah sudah hidup dalam suasana lingkungan yang menggemari
sastra dan sejarah. Ia bersekolah di Langkatsche School (HIS), sekolah dengan
tenaga pengajar orang-orang Belanda. Lalu sore hari, ia belajar mengaji di
Maktab Putih di sebuah rumah besar bekas istana Sultan Musa, di belakang Masjid
Azizi Langkat.
Setamat
HIS, Amir melanjutkan studi ke MULO di Medan, tapi tidak sampai selesai. Ia
pindah ke MULO di Jakarta. Di Jawa perkembangan kepenyairannya makin terbentuk.
Apalagi sejak sekolah di Aglemeene Middelbare School (AMS) jurusan Sastra Timur
di Solo, Amir menulis sebagian besar sajak-sajak pertamanya. Di sini ia
memperkaya diri dengan kebudayaan modern, kebudayaan Jawa, dan kebudayaan Asia
lainnya.
Kegemaran
dan kepiawian menulis saja itu berlanjut hingga saat ia melanjutkan studi di
Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta. Dalam kumpulan sajak Buah Rindu yang ditulis
antara tahun 1928 dan t1935, tapak perubahan lirik pantun dan syair Melayunya menjadi
sajak yang lebih modern.
Tahun
1931, ia telah memimpin Kongres Indonesia Muda di Solo. Pergaulannya dengan
para tokoh pergerakan nasional itu telah mewarnai dunia kesusasteraannya.
Sebagai sastrawan dan melalui karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa
Indonesia, Amir telah memberikan sumbangan besar dalam proses perkembangan dan
pematangan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional Indonesia. Dalam suratnya
kepada Armijn Pane pada bulan November 1932, ia menyebut bahasa Melayu adalah
bahasa yang molek.
Bagi
Amir, Bahasa Indonesia adalah simbol dari kemelayuan, kepahlawanan dan
keislaman. Hal ini tercermin dari syair-syair Amir yang merupakan refleksi dari
relijiusitas, dan kecintaannya pada ibu pertiwi serta kegelisahan sebagai
seorang pemuda Melayu.
Secara
keseluruhan ada sekitar 160 karya Amir yang berhasil dicatat. Di antaranya 50
sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris asli, 1 prosa liris terjemahan,
13 prosa asli dan 1 prosa terjemahan. Karya-karyanya tercatat dalam kumpulan sajak
Buah Rindu, Nyanyi Sunyi, Setanggi Timur dan terjemah Baghawat Gita.
Ia
memang seorang penyair hebat. Perintis kepercayaan diri para penyair nasional
untuk menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia, sehingga semakin meneguhkan
bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Amir seorang enyair besar Pujangga
Baru, yang kepenyairannya membuat Bahasa Melayu-Indonesia mendapat suara dan
lagu yang unik yang terus dihargai hingga saat ini. Ia penyair yang tersempurna
dalam bahasa Melayu-Indonesia hingga sekarang.
Amir
adalah tiga sejoli bersama Armijn Pane dan SutanTakdir Alisyahbana, yang
memimpin Pujangga Baru. Mereka mengelola majalah yang menguasai kehidupan
sastera dan kebudayaan Indonesia dari tahun 1933 hingga pecah perang dunia
kedua.
Pemerintah
RI kemudian mengapresiasi jasa dan sumbangsih Amir Hamzah ini dengan
menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1975.
Selain
itu, penghargaan atas jasa Amir Hamzah terlihat dari penggunaan namanya sebagai
nama gedung pusat kebudayaan Indonesia di Kedutaan Besar Republik Indonesia di
Kuala Lumpur, dan nama masjid di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Namun
akhir hidup penyair yang juga pengikut tarekat Naqsabandiyah ini ternyata
berakhir tragis. Setelah pada 29 Oktober 1945, Amir diangkat menjadi Wakil
Pemerintah Republik Indonesia untuk Langkat yang berkedudukan di Binjai (saat
itu Amir adalah juga Pangeran Langkat Hulu di Binjai), kemudian terjadi
revolusi sosial pada Maret 2006. Sasarannya adalah keluarga bangsawan yang
dianggap feodal dan kurang memihak kepda rakyat, termasuk Amir Hamzah.
Amir
Hamzah meninggal akibat revolusi sosial di Sumatera Timur itu, justru pada awal
kemerdekaan Indonesia. Kala itu, ia hilang tak tentu rimbanya. Mayatnya
ditemukan di sebuah pemakaman massal yang dangkal di Kuala Begumit. Konon, ia
tewas dipancung hingga tewas tanpa proses peradilan pada dinihari, 20 Maret
1946, dalam usia yang relaif mati muda, 35 tahun. Ia dimakamkan di pemakaman
mesjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat. Di makamnya terukir dua buah syairnya.
Pada
sisi kanan batu nisan, terpahat bait sajak;
Bunda,
waktu tuan melahirkan beta
Pada
subuh embang cempaka
Adalah
ibu menaruh sangka
Bahwa
begini peminta anakda
Tuan
aduhai mega berarak
Yang
meliputi dewangga raya
Berhentilah
tuan di atas teratak
Anak Langkat
musafir lata
Pada
sisi kiri batu nisannya, terpahat ukiran bait sajak:
Datanglah
engkau wahai maut
Lepaskan
aku dari nestapa
Engkau
lagi tempatku berpaut
Di
waktu ini gelap gulita
Sampaikan
rinduku pada adinda
Bisikkan
rayuanku pada juita
Liputi
lututnya muda kencana
Serupa
beta memeluk dia
Apa
kesalahannya sehingga ia diperlakukan seperti itu? 'Kesalahannya' hanya karena
ia lahir dari keluarga istana. Pada saat itu sedang terjadi revolusi sosial
yang bertujuan untuk memberantas segala hal yang berbau feodal dan feodalisme.
Banyak para tengku dan bangsawan istana yang dibunuh saat itu, termasuk Amir
Hamzah.
SOEHARTO
Soeharto
adalah Presiden kedua Republik Indonesia. Beliau lahir di Kemusuk, Yogyakarta,
tanggal 8 Juni 1921. Bapaknya bernama Kertosudiro seorang petani yang juga
sebagai pembantu lurah dalam pengairan sawah desa, sedangkan ibunya bernama
Sukirah.
Soeharto
masuk sekolah tatkala berusia delapan tahun, tetapi sering pindah. Semula
disekolahkan di Sekolah Desa (SD) Puluhan, Godean. Lalu pindah ke SD Pedes,
lantaran ibunya dan suaminya, Pak Pramono pindah rumah, ke Kemusuk Kidul.
Namun, Pak Kertosudiro lantas memindahkannya ke Wuryantoro. Soeharto dititipkan
di rumah adik perempuannya yang menikah dengan Prawirowihardjo, seorang mantri
tani.
Sampai
akhirnya terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa
Tengah pada tahun 1941. Beliau resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945.
Pada tahun 1947, Soeharto menikah dengan Siti Hartinah seorang anak pegawai
Mangkunegaran.
Perkimpoian
Letkol Soeharto dan Siti Hartinah dilangsungkan tanggal 26 Desember 1947 di
Solo. Waktu itu usia Soeharto 26 tahun dan Hartinah 24 tahun. Mereka dikaruniai
enam putra dan putri; Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang
Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra dan Siti Hutami Endang
Adiningsih.
Jenderal
Besar H.M. Soeharto telah menapaki perjalanan panjang di dalam karir militer
dan politiknya. Di kemiliteran, Pak Harto memulainya dari pangkat sersan
tentara KNIL, kemudian komandan PETA, komandan resimen dengan pangkat Mayor dan
komandan batalyon berpangkat Letnan Kolonel.
Pada
tahun 1949, dia berhasil memimpin pasukannya merebut kembali kota Yogyakarta
dari tangan penjajah Belanda saat itu. Beliau juga pernah menjadi Pengawal
Panglima Besar Sudirman. Selain itu juga pernah menjadi Panglima Mandala
(pembebasan Irian Barat).
Tanggal
1 Oktober 1965, meletus G-30-S/PKI. Soeharto mengambil alih pimpinan Angkatan
Darat. Selain dikukuhkan sebagai Pangad, Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai
Pangkopkamtib oleh Presiden Soekarno. Bulan Maret 1966, Jenderal Soeharto
menerima Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno. Tugasnya,
mengembalikan keamanan dan ketertiban serta mengamankan ajaran-ajaran Pemimpin
Besar Revolusi Bung Karno.
Karena
situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa
MPRS, Maret 1967, menunjuk Pak Harto sebagai Pejabat Presiden, dikukuhkan
selaku Presiden RI Kedua, Maret 1968. Pak Harto memerintah lebih dari tiga dasa
warsa lewat enam kali Pemilu, sampai ia mengundurkan diri, 21 Mei 1998.
residen
RI Kedua HM Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008.
Jenderal Besar yang oleh MPR dianugerahi penghormatan sebagai Bapak Pembangunan
Nasional, itu meninggal dalam usia 87 tahun setelah dirawat selama 24 hari
(sejak 4 sampai 27 Januari 2008) di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP),
Jakarta.
Berita
wafatnya Pak Harto pertama kalidiinformasikan Kapolsek Kebayoran Baru, Kompol.
Dicky Sonandi, di Jakarta, Minggu (27/1). Kemudian secara resmi Tim Dokter
Kepresidenan menyampaikan siaran pers tentang wafatnya Pak Harto tepat pukul
13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008 di RSPP Jakarta akibat kegagalan multi organ.
Kemudian
sekira pukul 14.40, jenazah mantan Presiden Soeharto diberangkatkan dari RSPP
menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta. Ambulan yang
mengusung jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan keluarga dan kerabat
serta pengawal. Sejumlah wartawan merangsek mendekat ketika iring-iringan
kendaraan itu bergerak menuju Jalan Cendana, mengakibatkan seorang wartawati
televisi tertabrak.
Di
sepanjang jalan Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut
kedatangan iringan kendaraan yang membawa jenazah Pak Harto. Isak tangis warga
pecah begitu rangkaian kendaraan yang membawa jenazah mantan Presiden Soeharto
memasuki Jalan Cendana, sekira pukul 14.55, Minggu (27/1).
Seementara
itu, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla
dan sejumlah menteri yang tengah mengikuti rapat kabinet terbatas tentang
ketahanan pangan, menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28
detik di Kantor Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden menyampaikan
belasungkawa yang mendalam atas wafatnya mantan Presiden RI Kedua Haji Muhammad
Soeharto.
FRANS
KAISIEPO
Frans
Kaisiepo dilahirkan di Biak, 10 Oktober 1921. Jiwa nasionalismenya tumbuh mekar
ketika ia berkenalan dengan Sugoro Atmoprasojo, mantan guru pada Perguruan
Taman Siswa, yang diasingkan di Boven Digul akibat kiprah politik
nasionalisnya.
Frans
Kaisiepo menggagas berdirinya Partai Indonesia Merdeka (PIM) di Biak, setahun
setelah Indonesia merdeka. Ia juga menjadi salah seorang anggota delegasi Papua
(Nederlands Nieuwe Guinea) pada Konferensi Malino, Sulawesi Selatan, yang
diprakarsai Belanda. Konferensi itu membahas perihal pembentukan Negara
Indonesia Timur (NIT). Pada konferensi tersebut ia secara tegas menolak rencana
penggabungan Papua ke dalam Negara Indonesia Timur. Menurutnya, Papua adalah
bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena penolakan Frans, Negara
Indonesia Timur akhirnya hanya beranggotakan Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan
Maluku. Ia juga mengganti nama Papua (Nederlands Nieuwe Guinea) menjadi IRIAN yang
merupakan singkatan dari Ikut Republik Indonesia Anti Netherlands.
Frans
terus bersikap anti Belanda. Ia menggalang kekuatan di Biak guna menentang
kehadiran Belanda di sana. Ia juga menolak dengan tegas pengangkatan dirinya
menjadi anggota delegasi Belanda pada Konferensi Meja Bundar (KMB) yang
diselenggarakan di Den Haag, Belanda. Sikap keras Frans membuat Belanda
kemudian mengasingkannya ke tempat-tempat terpencil.
Berlarut-larutnya
masalah Irian Barat menyebabkan Indonesia menempuh jalan konfrontasi. Presiden
Sukarno mengomandokan Trikora (Tri Komando Rakyat) untuk membebaskan Irian
Barat. Frans berperan besar dalam masalah ini dengan memberikan bantuannya agar
TNI bisa mendarat di Irian Barat. Frans yang ditunjuk menjadi gubernur Irian
Barat juga berperan besar ketika dilaksanakannya Pepera (Penentuan Pendapat
Rakyat) pada tahun 1969. Rakyat Irian Barat bersepakat bulat untuk bergabung
dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Frans
Kaisiepo wafat di Irian Jaya, 10 April 1979. Jenazahnya dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Cendrawasih, Irian Jaya. Pemerintah Indonesia mengangkat pejuang
Irian Jaya itu sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1993.
HARUN
BIN SAID
Harun
bin Said alias Thohir lahir pada tanggal 14 April 1947 di Kepulauan Bawean.
Setelah lulus SMA ia memasuki dunia militer pada Korps Komando Angkatan Laut
(KKO) pada bulan Juni 1964. Harun dinilai selaku prajurit yang tegas, disiplin
dan mampu mengemban tugas yang dipercayakan padanya. Beberapa bulan menjadi
anggota KKO, 10 Maret 1965, ia mendapat tugas rahasia yang amat berat :
menyusup ke Singapura dan membuat sabotase di sana. Bersama Usman bin Muhammad
Ali dan Gani bin Arup, ia menerima tugas itu dengan penuh tanggung jawab.
Sesuai
dengan waktu yang ditentukan, ketiganya berhasil menyusup masuk ke Singapura.
Bangunan McDonald Singapura yang menjadi sasaran target sabotase berhasil
mereka ledakkan. Mereka pun bergegas meninggalkan wilayah Singapura.
Sayang,
kapal boat yang mereka tumpangi mendadak rusak hingga Harun bin Said dan Usman
bin Muhammad Ali ditangkap pasukan khusus Australia di pelabuhan Singapura.
Harun bin Said dipenjara. Setelah diajukan ke muka persidangan, hakim Singapura
memutuskan Harun bin Said bersalah dan divonis hukuman mati. Meskipun
pemerintah Indonesia telah menempuh berbagai cara untuk membebaskan Harun bin
Said, namun semua usaha itu gagal. Harun bin Said tetap harus menjalani hukuman
mati.
Riwayat
hidup Harun bin Said berakhir di tiang gantungan dalam penjara Changi,
Singapura, pada tanggal 17 Oktober 1968. Harun bin Said telah mempersembahkan
jiwa dan raganya untuk tanah air tercintanya. Jenazah Harun bin Said kemudian
dikembalikan ke Indonesia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata,
Jakarta. Pemerintah Indonesia mengangkat Harun bin Said sebagai Pahlawan
Pembela Kebenaran.
ABDOEL
MOEIS
Abdoel
Moeis dilahirkan di Sungai Puar, Sumatera Barat, tanggal 3 Juli 1883. Ia pernah
belajar di Sekolah Dokter Bumiputera (STOVIA) namun tidak sampai lulus. Dengan
berbagai cara, ia berjuang sekuat tenaga agar negerinya terbebas dari
penjajahan yang menyengsarakan.
Melalui
kepiawaiannya menulis, ia tidak hanya dikenal sebagai wartawan handal, namun
juga sastrawan besar Indonesia. Salah Asuhan dan Surapati merupakan buah
karyanya yang melegenda. Dalam dunia jurnalistik, ia tercatat bekerja pada
surat kabar Preanger Bode Bandung, harian De Expres, harian Kaoem Moeda dan
juga Neraca. Dalam kancah organisasi kebangsaan, ia bergabung dengan organisasi
Sarekat Islam hingga diangkat menjadi anggota pengurus besar. Ia pernah diajak
memboikot perayaan seratus tahun terbebasnya Belanda dari penjajahan Perancis.
Akibatnya, ia harus berhadapan dengan pengadilan yang mengadilinya.
Di
setiap kesempatan, Abdul Muis selalu memanfaatkannya untuk kepentingan negeri
tercintanya. Ketika ia dikirim ke negeri Belanda pada tahun 1917 atas nama
Komite Ketahanan Hindia Belanda (Indie Weerbaar), ia memanfaatkan kesempatan
itu untuk mempengaruhi tokoh-tokoh politik Belanda guna mendirikan Sekolah
Teknologi Tinggi (Technische Hooge School) di Indonesia. Perjuangannya
berhasil, sekolah itu akhirnya didirikan di Indonesia dan sekarang terkenal
dengan nama Institut Teknologi Bandung (ITB).
Abdul
Muis bersama dengan Umar Said Cokroaminoto yang mewakili Sarekat Islam dalam
Volkstraad (Dewan Rakyat) pada tanggal 25 November 1918 pernah mengajukan mosi
terhadap pemerintah Kolonial Belanda agar membentuk parlemen yang anggota-anggotanya
dipilih sendiri oleh rakyat.
Ia
juga memimpin pemogokan massal para buruh di Yogyakarta pada tahun 1922. Karena
perlawanan yang ditunjukkannya, pemerintah Kolonial Belanda akhirnya menangkap
dan mengasingkan Abdul Muis ke Garut, Jawa Barat, pada tahun 1927. Di Garut,
Abdul Muis membentuk Persatuan Perjuangan Priangan untuk membantu perjuangan
para pejuang dalam rangka melawan penjajah. Ia seperti tidak kehabisan akal dan
cara untuk menunjukkan perjuangannya melawan penjajah.
Pejuang
dan sastrawan besar ini wafat pada tanggal 17 Juni 1959 di Bandung. Jenazahnya
dimakamkan pula di Kota Kembang itu. Pemerintah Indonesia mengangkatnya sebagai
Pahlawan Pergerakan Nasional pada tahun 1959.
JENDERAL
BESAR SOEDIRMAN
Jenderal
Besar TNI Anumerta Soedirman (Ejaan Soewandi: Sudirman) (lahir di Bodas
Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah, 24 Januari 1916 – meninggal di Magelang,
Jawa Tengah, 29 Januari 1950 pada umur 34 tahun) adalah seorang pahlawan
nasional Indonesia yang berjuang pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Dalam
sejarah perjuangan Republik Indonesia, ia dicatat sebagai Panglima dan Jenderal
RI yang pertama dan termuda. Saat usia Soedirman 31 tahun ia telah menjadi
seorang jenderal. Meski menderita sakit tuberkulosis paru-paru yang parah, ia
tetap bergerilya dalam perang pembelaan kemerdekaan RI. Pada tahun 1950 ia
wafat karena penyakit tuberkulosis tersebut dan dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta.
Soedirman
dibesarkan dalam lingkungan keluarga sederhana. Ayahnya, Karsid Kartowirodji,
adalah seorang pekerja di Pabrik Gula Kalibagor, Banyumas, dan ibunya, Siyem,
adalan keturunan Wedana Rembang. Soedirman sejak umur 8 bulan diangkat sebagai
anak oleh R. Tjokrosoenaryo, seorang asisten Wedana Rembang yang masih
merupakan saudara dari Siyem.
Soedirman
memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa. Kemudian ia melanjut ke
HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Surakarta tapi tidak sampai tamat. Soedirman
saat itu juga giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan. Setelah itu ia menjadi
guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap.
Ketika
jaman pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor di
bawah pelatihan tentara Jepang.[1] Setelah menyelesaikan pendidikan di PETA, ia
menjadi Komandan Batalyon di Kroya, Jawa Tengah. Kemudian ia menjadi Panglima
Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima
Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TKR).
Soedirman
dikenal oleh orang-orang di sekitarnya dengan pribadinya yang teguh pada
prinsip dan keyakinan, dimana ia selalu mengedepankan kepentingan masyarakat
banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya, bahkan kesehatannya sendiri.
Pribadinya tersebut ditulis dalam sebuah buku oleh Tjokropranolo, pengawal pribadinya
semasa gerilya, sebagai seorang yang selalu konsisten dan konsekuen dalam
membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara.
Pada
masa pendudukan Jepang ini, Soedirman pernah menjadi anggota Badan Pengurus
Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Karesidenan Banyumas. Dalam
saat ini ia mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan.
Setelah
berakhirnya Perang Dunia II, pasukan Jepang menyerah tanpa syarat kepada
Pasukan Sekutu dan Soekarno mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Soedirman
mendapat prestasi pertamanya sebagai tentara setelah keberhasilannya merebut
senjata pasukan Jepang dalam pertempuran di Banyumas, Jawa Tengah. Soedirman
mengorganisir batalyon PETA-nya menjadi sebuah resimen yang bermarkas di
Banyumas, untuk menjadi pasukan perang Republik Indonesia yang selanjutnya
berperan besar dalam perang Revolusi Nasional Indonesia.
Sesudah
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima
Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan melalui Konferensi TKR tanggal 12
November 1945, Soedirman terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima Angkatan
Perang RI. Selanjutnya dia mulai menderita penyakit tuberkulosis, walaupun
begitu selanjutnya dia tetap terjun langsung dalam beberapa kampanye perang
gerilya melawan pasukan NICA Belanda.
Menangnya
Pasukan Sekutu atas Jepang dalam Perang Dunia II membawa pasukan Belanda untuk
datang kembali ke kepulauan Hindia Belanda (Republik Indonesia sekarang), bekas
jajahan mereka yang telah menyatakan untuk merdeka. Setelah menyerahnya pasukan
Jepang, Pasukan Sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara
Jepang. Ternyata pasukan sekutu datang bersama dengan tentara NICA dari Belanda
yang hendak mengambil kembali Indonesia sebagai koloninya. Mengetahui hal
tersebut, TKR pun terlibat dalam banyak pertempuran dengan tentara sekutu.
Perang
besar pertama yang dipimpin Soedirman adalah perang Palagan Ambarawa melawan
pasukan Inggris dan NICA Belanda yang berlangsung dari bulan November sampai
Desember 1945. [3] Pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Soedirman
terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal 12
Desember 1945, Soedirman melancarkan serangan serentak terhadap semua kedudukan
Inggris di Ambarawa. Pertempuran terkenal yang berlangsung selama lima hari
tersebut diakhiri dengan mundurnya pasukan Inggris ke Semarang. Perang tersebut
berakhir tanggal 16 Desember 1945.
Setelah
kemenangan Soedirman dalam Palagan Ambarawa, pada tanggal 18 Desember 1945 dia dilantik
sebagai Jenderal oleh Presiden Soekarno. Soedirman memperoleh pangkat Jenderal
tersebut tidak melalui sistem Akademi Militer atau pendidikan tinggi lainnya,
tapi karena prestasinya.
Saat
terjadinya Agresi Militer II Belanda, Ibukota Republik Indonesia dipindahkan di
Yogyakarta, karena Jakarta sudah diduduki oleh tentara Belanda. Soedirman
memimpin pasukannya untuk membela Yogyakarta dari serangan Belanda II tanggal
19 Desember 1948 tersebut. Dalam perlawanan tersebut, Soedirman sudah dalam
keadaan sangat lemah karena penyakit tuberkulosis yang dideritanya sejak lama.
Walaupun begitu dia ikut terjun ke medan perang bersama pasukannya dalam
keadaan ditandu, memimpin para tentaranya untuk tetap melakukan perlawanan
terhadap pasukan Belanda secara gerilya.
Penyakit
yang diderita Soedirman saat berada di Yogyakarta semakin parah. Paru-parunya
yang berfungsi hanya tinggal satu karena penyakitnya. Yogyakarta pun kemudian
dikuasai Belanda, walaupun sempat dikuasai oleh tentara Indonesia setelah
Serangan Umum 1 Maret 1949. Saat itu, Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta dan
beberapa anggota kabinet juga ditangkap oleh tentara Belanda. Karena situasi
genting tersebut, Soedirman dengan ditandu berangkat bersama pasukannya dan
kembali melakukan perang gerilya. Ia berpindah-pindah selama tujuh bulan dari
hutan satu ke hutan lain, dan dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan
lemah dan dalam kondisi hampir tanpa pengobatan dan perawatan medis. Walaupun
masih ingin memimpin perlawanan tersebut, akhirnya Soedirman pulang dari
kampanye gerilya tersebut karena kondisi kesehatannya yang tidak
memungkinkannya untuk memimpin Angkatan Perang secara langsung. Setelah itu
Soedirman hanya menjadi tokoh perencana di balik layar dalam kampanye gerilya
melawan Belanda.
Setelah
Belanda menyerahkan kepulauan nusantara sebagai Republik Indonesia Serikat
dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949 di Den Haag, Jenderal Soedirman kembali
ke Jakarta bersama Presiden Soekarno, dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Pada
tangal 29 Januari 1950, Jenderal Soedirman meninggal dunia di Magelang, Jawa
Tengah karena sakit tuberkulosis parah yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta. Ia dinobatkan sebagai
Pahlawan Pembela Kemerdekaan. Pada tahun 1997 dia mendapat gelar sebagai
Jenderal Besar Anumerta dengan bintang lima, pangkat yang hanya dimiliki oleh
beberapa jenderal di RI sampai sekarang.
Ir. SOEKARNO
Ir.
Soekarno1 (ER, EYD: Sukarno) (lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 –
meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun) adalah Presiden
Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945 - 1966. Ia memainkan peranan
penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah
penggali Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan
Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.
Soekarno
menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial, yang
isinya - berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan darat -
menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan
negara dan institusi kepresidenan. Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal
Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti
anggota-anggotanya yang duduk di parlemen. Setelah pertanggung jawabannya
ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum ke
empat tahun 1967, Presiden Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai
presiden pada Sidang Istimewa MPRS di tahun yang sama dan mengangkat Soeharto
sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.
Latar
belakang dan pendidikan
Soekarno
dilahirkan dengan nama Kusno Sosrodihardjo. Ayahnya bernama Raden Soekemi
Sosrodihardjo, seorang guru di Surabaya, Jawa. Ibunya bernama Ida Ayu Nyoman
Rai berasal dari Buleleng, Bali.
Ketika
kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya di Tulungagung, Jawa Timur. Pada usia
14 tahun, seorang kawan bapaknya yang bernama Oemar Said Tjokroaminoto mengajak
Soekarno tinggal di Surabaya dan disekolahkan ke Hoogere Burger School (H.B.S.)
di sana sambil mengaji di tempat Tjokroaminoto. Di Surabaya, Soekarno banyak
bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin
Tjokroaminoto saat itu. Soekarno kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java
(Pemuda Jawa).
Tamat
H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School (sekarang
ITB) di Bandung, dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung, Soekarno berinteraksi
dengan Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan
pemimpin organisasi National Indische Partij.
Masa
pergerakan nasional
Pada
tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung. Organisasi ini
menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927.
Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkannya ditangkap Belanda pada bulan Desember
1929, dan memunculkan pledoinya yang fenomenal: Indonesia Menggugat, hingga
dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931.
Pada
bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang
merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933,
dan diasingkan ke Flores. Di sini, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional.
Namun semangatnya tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada
seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hassan.
Pada
tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu. Soekarno
baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
Masa
penjajahan Jepang
Pada
awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat tidak
memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk
"mengamankan" keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan
3A dengan tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer.
Namun
akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memperhatikan dan sekaligus
memanfaatkan tokoh tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta dan
lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga lembaga untuk menarik
hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai organisasi seperti Jawa
Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh tokoh seperti
Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H Mas Mansyur dan lain lainnya
disebut-sebut dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional
bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan
Indonesia, meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan
Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang
berbahaya.
Presiden
Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi
kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerjasama dengan Jepang
sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan sendiri.
Ia
aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, diantaranya adalah
merumuskan Pancasila, UUD 1945 dan dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk
merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir ke
Rengasdengklok Peristiwa Rengasdengklok.
Pada
tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni
Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima
langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran
(Ratna Suci) kepada tiga tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu
membuat pemerintahan pendudukan Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa
ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan
Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat
wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian menyatakan bahwa
proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.
Namun
keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang membuat Soekarno
dituduh oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang,antara lain dalam kasus
romusha.
Masa
kemerdekaan
Setelah
Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan Kedaulatan),
Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS)
dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan Presiden
Republik Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang kemudian dikenal sebagai
RI Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin
kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali
berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI.
Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali kepada
Ir. Soekarno. Resminya kedudukan Presiden Soekarno adalah presiden
konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah dilakukan setelah
berkonsultasi dengannya.
Mitos
Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat dikalangan rakyat
dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh
bangunnya kabinet yang terkenal sebagai "kabinet seumur jagung"
membuat Presiden Soekarno kurang mempercayai sistem multipartai, bahkan menyebutnya
sebagai "penyakit kepartaian". Tak jarang, ia juga ikut turun tangan
menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga berimbas pada jatuh
bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa di kalangan
Angkatan Udara.
Presiden
Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional.
Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum
mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno,
pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di
Bandung yang menghasilkan Dasa Sila. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota
Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat "bom waktu" yang
ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih mementingkan imperialisme dan
kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang
merubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam
pemecahan konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip Broz Tito
(Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu,
(Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang
membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara-negara Asia
Afrika yang memperoleh kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang
mengalami konflik berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam
pemecahan masalah, yang masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat
jasa ini pula, banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno
bila ingat atau mengenal akan Indonesia.
Guna
menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional,
Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan
pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet),
John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung
(RRC).
Masa-masa
kejatuhan Soekarno dimulai sejak ia "bercerai" dengan Wakil Presiden
Moh. Hatta, pada tahun 1956, akibat pengunduran diri Hatta dari kancah perpolitikan
Indonesia. Ditambah dengan sejumlah pemberontakan separatis yang terjadi di
seluruh pelosok Indonesia, dan puncaknya, pemberontakan G 30 S, membuat
Soekarno di dalam masa jabatannya tidak dapat "memenuhi" cita-cita
bangsa Indonesia yang makmur dan sejahtera.
Sakit
hingga meninggal
Soekarno
sendiri wafat pada tanggal 21 Juni 1970 di Wisma Yaso, Jakarta, setelah
mengalami pengucilan oleh penggantinya Soeharto. Jenazahnya dikebumikan di Kota
Blitar, Jawa Timur, dan kini menjadi ikon kota tersebut, karena setiap tahunnya
dikunjungi ratusan ribu hingga jutaan wisatawan dari seluruh penjuru dunia.
Terutama pada saat penyelenggaraan Haul Bung Karno.
MOH.
HATTA
Dr.(H.C.)
Drs. H. Mohammad Hatta (populer sebagai Bung Hatta, lahir di Bukittinggi,
Sumatera Barat, 12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur
77 tahun) adalah pejuang, negarawan, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang
pertama. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena
berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta dikenal sebagai Bapak Koperasi
Indonesia. Bandar udara internasional Jakarta menggunakan namanya sebagai
penghormatan terhadap jasanya sebagai salah seorang proklamator kemerdekaan
Indonesia.
Nama
yang diberikan oleh orangtuanya ketika dilahirkan adalah Muhammad Athar. Anak
perempuannya bernama Meutia Hatta menjabat sebagai Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Ia dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta.
Perjuangan
Saat
berusia 15 tahun, Hatta merintis karir sebagai aktivis organisasi, sebagai
bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB) Cabang Padang. Di kota ini Hatta mulai
menimbun pengetahuan perihal perkembangan masyarakat dan politik, salah satunya
lewat membaca berbagai koran, bukan saja koran terbitan Padang tetapi juga
Batavia. Lewat itulah Hatta mengenal pemikiran Tjokroaminoto dalam surat kabar
Utusan Hindia, dan Agus Salim dalam Neratja.
Pada
usia 17 tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat menengah (MULO). Lantas ia
bertolak ke Batavia untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang Prins
Hendrik School. Di sini, Hatta mulai aktif menulis. Karangannya dimuat dalam
majalah Jong Sumatera, “Namaku Hindania!” begitulah judulnya. Berkisah perihal
janda cantik dan kaya yang terbujuk kimpoi lagi. Setelah ditinggal mati
suaminya, Brahmana dari Hindustan, datanglah musafir dari Barat bernama
Wolandia, yang kemudian meminangnya. “Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga
lebih mencintai hartaku daripada diriku dan menyia-nyiakan anak-anakku,” rutuk
Hatta lewat Hindania.
Pemuda
Hatta makin tajam pemikirannya karena diasah dengan beragam bacaan, pengalaman
sebagai Bendahara JSB Pusat, perbincangan dengan tokoh-tokoh pergerakan asal
Minangkabau yang mukim di Batavia, serta diskusi dengan temannya sesama anggota
JSB. Selama menjabat Bendahara JSB Pusat, Hatta menjalin kerjasama dengan
percetakan surat kabar Neratja. Hubungan itu terus berlanjut meski Hatta berada
di Rotterdam, ia dipercaya sebagai koresponden. Suatu ketika pada medio tahun
1922, terjadi peristiwa yang mengemparkan Eropa, Turki yang dipandang sebagai
kerajaan yang sedang runtuh (the sick man of Europe) memukul mundur tentara
Yunani yang dijagokan oleh Inggris. Perangko Satu Abad Bung Hatta diterbitkan
oleh PT Pos Indonesia tahun 2002
Hatta
mengawali karir pergerakannya di Indische Vereeniging pada 1922, lagi-lagi,
sebagai Bendahara. Penunjukkan itu berlangsung pada 19 Februari 1922, ketika
terjadi pergantian pengurus Indische Vereeniging. Ketua lama dr. Soetomo
diganti oleh Hermen Kartawisastra.
Pada
tahun 1932 Hatta kembali ke Indonesia dan bergabung dengan organisasi Club
Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan meningkatkan kesadaran politik
rakyat Indonesia melalui proses pelatihan-pelatihan. Belanda kembali menangkap
Hatta, bersama Soetan Sjahrir, ketua Club Pendidikan Nasional Indonesia pada
bulan Februari 1934. Hatta diasingkan ke Digul dan kemudian ke Banda selama 6
tahun.
Pada
tahun 1945, Hatta secara aklamasi diangkat sebagai wakil presiden pertama RI,
bersama Bung Karno yang menjadi presiden RI sehari setelah ia dan bung karno
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena peran tersebut maka
keduanya disebut Bapak Proklamator Indonesia.
Kehidupan
pribadi
Hatta
menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal 18 Nopember 1945 di Megamendung,
Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida,
Gemala Rabi'ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah
menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs.
Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua cucunya,
yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek.
Bung
Hatta adalah nama salah seorang dari beribu pahlawan yang pernah memperjuangkan
kemerdekaan dan kemajuan Indonesia. Sosok Bung Hatta telah menjadi begitu dekat
dengan hati rakyat Indonesia karena perjuangan dan sifatnya yang begitu
merakyat. Besarnya peran beliau dalam perjuangan negeri ini sehingga ai disebut
sebagai salah seorang “The Founding Father’s of Indonesia”.
Berbagai
tulisan dan kisah perjuangan Muhammad Hatta telah ditulis dan dibukukan, mulai
dari masa kecil, remeja, dewasa dan perjuangan beliau untuk mewujudkan
kemerdekaan Indonesia. Namun ada hal yang rasanya perlu sedikit digali dan
dipahami yaitu melihat Bung Hatta sebagai tokoh organisasi dan partai politik,
hal ini dikaitkan dengan usaha melihat perkembangan kegiatan politik dan
ketokohan politik di dunia politik Indonesia sekarang maka pantas rasanya kita
ikut melihat perjuangan dan perjalanan kegiatan politik Bung Hatta.
Setelah
perang dunia I berakhir generasi muda Indonesia yang berprestasi makin banyak
yang mendapat kesempatan mengenyam pendidikan luar negeri seperti di Belanda,
Kairo (Mesir). Hal ini diperkuat dengan diberlakukannya politik balas budi oleh
Belanda. Bung Hatta adalah salah seorang pemuda yang beruntung, beliau mendapat
kesempatan belajar di Belanda. Kalau kita memperhatikan semangat berorganisasi
Bung Hatta, sebenarnya telah tumbuh sewaktu beliau berada di Indoensia. Beliau
pernah menjadi ketua Jong Sematera (1918-1921) dan semangat ini makin membara
dengan asahan dari kultur pendidikan Belanda / Eropa yang bernafas demokrasi
dan keterbukaan.
Keinginan
dan semangat berorganisasi Bung Hatta makin terlihat sewaktu beliau mulai aktif
di kelompok Indonesische Vereeniging yang merupakan perkumpulan pemuda-pemuda
Indonesia yang memikirkan dan berusaha memajukan Indonesia, bahkan dalam
organisasi ini dinyatakan bahwa tujuan mereka adalah : “ kemerdekaan bagi Indonesia
“. Dalam organisasi yang keras dan anti penjajahan ini Bung Hatta makin “tahan
banting” karena banyaknya rintangan dan hambatan yang mereka hadapi. Walau
mendapat tekanan, organisasi Indonesische Vereeniging tetap berkembang bahkan
Januari 1925 organisasi ini dinyatakan sebagai sebuah organisasi politik yang
kemudian dinamai Perhimpunan Indonesia (PI). Dan dalam organisasi ini Bung
Hatta bertindak sebagai Pemimpinnya. Keterlibatan Bung Hatta dalam organisasi
dan partai poltik bukan hanya di luar negeri tapi sekembalinya dari Belanda
beliau juga aktif di PNI (Partai Nasional Indonesia) yang didirikan Soekarno
tahun 1927.
PANGERAN
DIPONEGORO
Pangeran
Diponegoro (lahir di Yogyakarta, 11 November 1785 – meninggal di Makassar,
Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah salah seorang
pahlawan nasional Republik Indonesia. Makamnya berada di Makassar.
Asal-usul
Diponegoro
Diponegoro
adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta.
Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan
(selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non
permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Raden
Mas Mustahar,[rujukan?] lalu diubah namanya oleh Hamengkubuwono II tahun 1805
menjadi Bendoro Raden Mas Ontowiryo.
Menyadari
kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya,
Sultan Hamengkubuwana III untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak
mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara
Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.
Diponegoro
lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka
tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I
Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton
dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi
salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru
berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih
Danurejo bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui
Diponegoro.
Perang
Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik
Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan
kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat
mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.
Sikap
Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan
rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari
Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat
itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan
menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan
Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah
seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan
Diponegoro di Goa Selarong.
Selama
perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta
gulden.
Berbagai
cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun
dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa
menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.
Penangkapan
dan pengasingan
* 16
Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal,
Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng
Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan
Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.
Lukisan
karya Nicolaas Pieneman, "Penyerahan diri Pangeran Diponegero kepada
Jenderal De Kock".
* 28
Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa
mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang.
Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan
dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran,
kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia
menggunakan kapal Pollux pada 5 April.
* 11
April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah).
Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch.
* 30
April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih,
Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti
Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado.
* 3
Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado
dan ditawan di benteng Amsterdam.
*
1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
* 8 Januari
1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar.
Dalam
perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon
atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan
Bagelen.
Bagus
Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Diponegoro dengan Raden Ayu
Citrowati Puteri Bupati Madiun Raden Ronggo. Raden Ayu Citrowati adalah saudara
satu ayah lain ibu dengan Sentot Prawiro Dirjo. Nama Raden Mas Singlon atau
Bagus Singlon atau Ki Sodewo snediri telah masuk dalam daftar silsilah yang
dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem Keraton Yogyakarta.
Perjuangan
Ki Sodewo untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam pada kematian
eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah karena memberontak
kepada Belanda. Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah dikendalikan
oleh Patih Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil dan
Sentot bersama keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton sebagai barang
bukti suksesnya penyerbuan.
Ki
Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Diponegoro lalu dititipkan
pada sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya pergi dan selalu
berpindah-pindah tempat agar keberadaannya tidak tercium oleh Belanda. Belanda
sendiri pada saat itu sangat membenci anak turun Raden Ronggo yang sejak dulu
terkenal sebagai penentang Belanda. Atas kehendak Pangeran Diponegoro, bayi
tersebut diberi nama Singlon yang artinya penyamaran.
Keturunan
Ki Sodewo saat ini banyak tinggal di bekas kantung-kantung perjuangan Ki Sodewo
pada saat itu dengan bermacam macam profesi. Dengan restu para sesepuh dan
dimotori oleh keturunan ke 7 Pangeran Diponegoro yang bernama Raden Roni
Muryanto, Keturunan Ki Sodewo membentuk sebuah paguyuban dengan nama Paguyuban
Trah Sodewo.
Setidaknya
Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5 orang putri, yang semuanya kini
hidup tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi & Maluku.
BUNG
TOMO / SUTOMO
Sutomo
(lahir di Surabaya, Jawa Timur, 3 Oktober 1920 – meninggal di Padang Arafah,
Arab Saudi, 7 Oktober 1981 pada umur 61 tahun) lebih dikenal dengan sapaan
akrab oleh rakyat sebagai Bung Tomo, adalah pahlawan yang terkenal karena
peranannya dalam membangkitkan semangat rakyat untuk melawan kembalinya
penjajah Belanda melalui tentara NICA, yang berakhir dengan pertempuran 10
November 1945 yang hingga kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Sutomo
dilahirkan di Kampung Blauran, di pusat kota Surabaya. Ayahnya bernama Kartawan
Tjiptowidjojo, seorang kepala keluarga dari kelas menengah. Ia pernah bekerja
sebagai pegawai pemerintahan, sebagai staf pribadi di sebuah perusahaan swasta,
sebagai asisten di kantor pajak pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan
ekspor-impor Belanda. Ia mengaku mempunyai pertalian darah dengan beberapa
pendamping dekat Pangeran Diponegoro yang dikebumikan di Malang. Ibunya
berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan Madura. Ayahnya adalah seorang serba
bisa. Ia pernah bekerja sebagai polisi di kotapraja, dan pernah pula menjadi anggota
Sarekat Islam, sebelum ia pindah ke Surabaya dan menjadi distributor lokal
untuk perusahaan mesin jahit Singer.
Masa
muda
Sutomo
dibesarkan di rumah yang sangat menghargai pendidikan. Ia berbicara dengan
terus terang dan penuh semangat. Ia suka bekerja keras untuk memperbaiki
keadaan. Pada usia 12 tahun, ketika ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di
MULO, Sutomo melakukan berbagai pekerjaan kecil-kecilan untuk mengatasi dampak
depresi yang melanda dunia saat itu. Belakangan ia menyelesaikan pendidikan
HBS-nya lewat korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus.
Sutomo
kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Belakangan Sutomo
menegaskan bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran nasionalis yang
diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti yang baik
untuk pendidikan formalnya. Pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika
berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu
Garuda. Sebelum pendudukan Jepang pada 1942, peringkat ini hanya dicapai oleh
tiga orang Indonesia.
Perjuangan
Sutomo
pernah menjadi seorang jurnalis yang sukses. Kemudian ia bergabung dengan
sejumlah kelompok politik dan sosial. Ketika ia terpilih pada 1944 untuk
menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru yang disponsori Jepang, hampir tak seorang
pun yang mengenal dia. Namun semua ini mempersiapkan Sutomo untuk peranannya
yang sangat penting, ketika pada Oktober dan November 1945, ia berusaha
membangkitkan semangat rakyat sementara Surabaya diserang habis-habisan oleh
tentara-tentara NICA. Sutomo terutama sekali dikenang karena seruan-seruan
pembukaannya di dalam siaran-siaran radionya yang penuh dengan emosi,
"Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!"
Meskipun
Indonesia kalah dalam pertempuran 10 November itu, kejadian ini tetap dicatat
sebagai salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Indonesia.
Setelah
kemerdekaan
Setelah
kemerdekaan Indonesia, Sutomo sempat terjun dalam dunia politik pada tahun
1950-an, namun ia tidak merasa bahagia dan kemudian menghilang dari panggung
politik. Pada akhir masa pemerintahan Soekarno dan awal pemerintahan Suharto
yang mula-mula didukungnya, Sutomo kembali muncul sebagai tokoh nasional.
Padahal,
berbagai jabatan kenegaraan penting pernah disandang Bung Tomo. Ia pernah
menjabat Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus
Menteri Sosial Ad Interim pada 1955-1956 di era Kabinet Perdana Menteri
Burhanuddin Harahap. Bung Tomo juga tercatat sebagai anggota DPR pada 1956-1959
yang mewakili Partai Rakyat Indonesia.
Namun
pada awal 1970-an, ia kembali berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru.
Ia berbicara dengan keras terhadap program-program Suharto sehinga pada 11
April 1978 ia ditahan oleh pemerintah Indonesia yang tampaknya khawatir akan
kritik-kritiknya yang keras. Baru setahun kemudian ia dilepaskan oleh Suharto.
Meskipun semangatnya tidak hancur di dalam penjara, Sutomo tampaknya tidak lagi
berminat untuk bersikap vokal.
Ia
masih tetap berminat terhadap masalah-masalah politik, namun ia tidak pernah
mengangkat-angkat peranannya di dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Ia
sangat dekat dengan keluarga dan anak-anaknya, dan ia berusaha keras agar
kelima anaknya berhasil dalam pendidikannya.
Sutomo
sangat bersungguh-sungguh dalam kehidupan imannya, namun tidak menganggap
dirinya sebagai seorang Muslim saleh, ataupun calon pembaharu dalam agama. Pada
7 Oktober 1981 ia meninggal dunia di Padang Arafah, ketika sedang menunaikan
ibadah haji. Berbeda dengan tradisi untuk memakamkan para jemaah haji yang
meninggal dalam ziarah ke tanah suci, jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke tanah
air dan dimakamkan bukan di sebuah Taman Makam Pahlawan, melainkan di Tempat
Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya.
Gelar
Pahlawan Nasional
Setelah
pemerintah didesak oleh Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai Golkar
(FPG) agar memberikan gelar pahlawan kepada Bung tomo pada 9 November 2007.
Akhirnya gelar pahlawan nasional diberikan ke Bung Tomo bertepatan pada
peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008. Keputusan ini disampaikan
oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh
pada tanggal 2 November 2008 di Jakarta.
JENDERAL GATOT SOEBROTO
Jenderal Gatot Soebroto (lahir di Banyumas, Jawa
Tengah, 10 Oktober 1907 – meninggal di Jakarta, 11 Juni 1962 pada umur 54
tahun) adalah tokoh perjuangan militer Indonesia dalam merebut kemerdekaan dan
juga pahlawan nasional Indonesa. Ia dimakamkan di Ungaran, kabupaten Semarang.
Pada tahun 1962, Soebroto dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional
menurut SK Presiden RI No.222 tanggal 18 Juni 1962. Ia juga merupakan ayah
angkat dari Bob Hasan, seorang pengusaha ternama dan mantan menteri Indonesia
pada era Soeharto.
Setamat pendidikan dasar die HIS, Gatot Subroto
tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, namun memilih menjadi pegawai.
Namun tak lama kemudian pada tahun 1923 memasuki sekolah militer KNIL di
Magelang. Setelah Jepang menduduki Indonesia, serta merta Gatot Subroto pun
mengikuti pendidikan PETA di Bogor. Setelah kemerdekaan, Gatot Subroto memilih
masuk Tentara Keamanan Rakyat TKR dan kariernya berlanjut hingga dipercaya
menjadi Panglima Divisi II, Panglima Corps Polisi Militer, dan Gubernur Militer
Daerah Surakarta dan sekitarnya.
Setelah ikut berjuang dalam Perang Kemerdekaan, pada
tahun 1949 Gatot Subroto diangkat menjadi Panglima Tentara & Teritorium
(T&T) IV I Diponegoro.
Pada tahun 1953, beliau sempat mengundurkan diri
dari dinas militer, namun tiga tahun kemudian diaktifkan kembali sekaligus
diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad).
Beliau adalah penggagas akan perlunya sebuah akademi
militer gabungan (AD,AU,AL) untuk membina para perwira muda. Gagasan tersebut
diwujudkan dengan pembentukan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(AKABRI) pada tahun 1965
HALIM PERDANAKUSUMA
Abdul
Halim Perdanakusuma (Halim Perdana Kusuma) seorang pahlawan Indonesia. Pria
kelahiran Sampang, 18 November 1922, ini gugur di Malaysia, 14 Desember 1947
dalam usia 25 tahun saat menjalankan tugas semasa perang Indonesia-Belanda di
Sumatera. Ia ditugaskan membeli dan mengangkut perlengkapan senjata dengan
pesawat terbang dari Thailand.
Semasa
perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia melawan penjajah Belanda di
Sumatera pada tahun 1948, Halim Perdana Kusuma dan Marsma Ismayudi ditugaskan
membeli kelengkapan senjata di Thailand. Keduanya ditugaskan dengan pesawat
terbang jenis "Enderson". Pesawat terbang itu dipenuhi dengan
pelbagai senjata api, di antaranya karbin, sten-gan, pistol dan bom tangan.
Dalam
perjalanan pulang, pesawat terbang tersebut jatuh. Tidak diketahui penyebabnya.
Diduga kerana cuaca buruk. Namun kemungkinan karena sabotase sangat terbuka.
Bangkai pesawat terbang tersebut ditemui di sebuah kawasan hutan berdekatan
dengan Lumut, Perak, Malaysia. Namun tim penyelamat hanya menemui jasad Halim.
Sementara, Ismayudi tidak dijumpai dan tidak diketahui nasibnya sehingga
sekarang. Begitu juga dengan pelbagai kelengkapan senjata api yang mereka beli
di Thailand, tidak diketahui ke mana perginya.
Jasad
Halim kemudian sempat dikebumikan di Gunung Mesah, tidak jauh dari Gopeng,
Perak, Malaysia. Pusat data Tokoh Indonesia mencatat, di daerah itu (Gunung
Mesah)banyak orang Sumatra. Beberapa tahun kemudian, kuburannya digali dan
jasadnya dibawa balik ke Indonesia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, Jakarta.
Pemerintah
memberi penghormatan atas jasa dan perjuangan Halim, dengan menganugerahi gelar
dahlawan nasional dan mengabadikan namanya di sebuah lapangan terbang (Bandar
Udara) internasional Halim Perdanakusuma di Jakarta. Juga dengan mengabadikan
namanya pada kapal perang KRI Abdul Halim Perdanakusuma.
Sementara,
nasib Ismayudi tidak diketahui. Ketika Perjanjian Haadyai antara Kerajaan
Malaysia dengan Parti Komunis Malaya pada tahun 1989, seorang Indonesia turut
muncul dalam gencatan senjata tersebut. Ishak Haji Mohamad (Pak Sako) menduga
komunis warga Indonesia tersebut ialah Ismayudi.
http://archive.kaskus.co.id/thread/3452851/
RASUNA SAID
Hajjah Rangkayo Rasuna Said (lahir di Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 14 September 1910 – meninggal di Jakarta, 2 November 1965 pada umur 55 tahun) adalah salah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia dan juga merupakan pahlawan nasional Indonesia. Seperti Kartini, ia juga memperjuangkan adanya persamaan hak antara pria dan wanita. Ia dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Riwayat
H.R. Rasuna Said adalah seorang muda yang mempunyai kemauan yang keras dan berpandangan luas. Awal perjuangan beliau dimulai dengan beraktivitas di Sarekat Rakyat sebagai Sekretaris cabang dan kemudian menjadi anggota Persatuan Muslim Indonesia (PERMI). Beliau sangat mahir dalam berpidato yang isinya mengecam secara tajam ketidak adilan pemerintah Belanda, sehingga beliau sempat ditangkap dan dipenjara pada tahun 1932 di Semarang.
H.R. Rasuna Said adalah seorang muda yang mempunyai kemauan yang keras dan berpandangan luas. Awal perjuangan beliau dimulai dengan beraktivitas di Sarekat Rakyat sebagai Sekretaris cabang dan kemudian menjadi anggota Persatuan Muslim Indonesia (PERMI). Beliau sangat mahir dalam berpidato yang isinya mengecam secara tajam ketidak adilan pemerintah Belanda, sehingga beliau sempat ditangkap dan dipenjara pada tahun 1932 di Semarang.
Pada masa pendudukan Jepang, beliau ikut serta
sebagai pendiri organisasi pemuda Nippon Raya di Padang yang kemudian dibubarkan
oleh Pemerintah Jepang.
H.R. Rasuna Said duduk dalam Dewan Perwakilan
Sumatera mewakili daerah Sumatera Barat setelah Proklamasi Kemerdekaan,
diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat
(DPR RIS), kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung sejak 1959 sampai
akhir hayat beliau.
H.R. Rasuna diangkat sebagai Pahlawan Nasional
dengan Surat Keputusan Presiden R.I. No. 084/TK/Tahun 1974 tanggal 13 Desember
1974.
H.R. Rasuna Said meninggalkan seorang putri (Auda
Zaschkya Duski) dan 6 cucu (Kurnia Tiara Agusta, Anugerah Mutia Rusda, Moh.
Ibrahim, Moh. Yusuf, Rommel Abdillah dan Natasha Quratul'Ain).
Namanya sekarang diabadikan sebagai salah satu nama jalan protokol di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
Namanya sekarang diabadikan sebagai salah satu nama jalan protokol di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
WAGE RUDOLF SOEPRATMAN
Biografi
Ayahnya bernama Senen, sersan di Batalyon VIII.
Saudara Soepratman berjumlah enam, laki satu, lainnya perempuan. Salah satunya
bernama Roekijem. Pada tahun 1914, Soepratman ikut Roekijem ke Makassar. Di
sana ia disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem yang bernama Willem van
Eldik.
Soepratman lalu belajar bahasa Belanda di sekolah
malam selama tiga tahun, kemudian melanjutkannya ke Normaalschool di Makassar
sampai selesai. Ketika berumur 20 tahun, lalu dijadikan guru di Sekolah Angka
2. Dua tahun selanjutnya ia mendapat ijazah Klein Ambtenaar.
Beberapa waktu lamanya ia bekerja pada sebuah
perusahaan dagang. Dari Makassar, ia pindah ke Bandung dan bekerja sebagai
wartawan di harian Kaoem Moeda dan Kaoem Kita. Pekerjaan itu tetap dilakukannya
sewaktu sudah tinggal di Jakarta. Dalam pada itu ia mulai tertarik kepada
pergerakan nasional dan banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan. Rasa
tidak senang terhadap penjajahan Belanda mulai tumbuh dan akhirnya dituangkan
dalam buku Perawan Desa. Buku itu disita dan dilarang beredar oleh pemerintah
Belanda.
Soepratman dipindahkan ke kota Sengkang. Di situ
tidak lama lalu minta berhenti dan pulang ke Makassar lagi. Roekijem sendiri
sangat gemar akan sandiwara dan musik. Banyak karangannya yang dipertunjukkan
di mes militer. Selain itu Roekijem juga senang bermain biola, kegemarannya ini
yang membuat Soepratman juga senang main musik dan membaca-baca buku musik.
W.R. Soepratman tidak beristri serta tidak pernah
mengangkat anak.
Sewaktu tinggal di Makassar, Soepratman memperoleh
pelajaran musik dari kakak iparnya yaitu Willem van Eldik, sehingga pandai
bermain biola dan kemudian bisa menggubah lagu. Ketika tinggal di Jakarta, pada
suatu kali ia membaca sebuah karangan dalam majalah Timbul. Penulis karangan
itu menantang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan.
Soepratman tertantang, lalu mulai menggubah lagu.
Pada tahun 1924 lahirlah lagu Indonesia Raya, pada waktu itu ia berada di
Bandung dan pada usia 21 tahun.
Pada bulan Oktober 1928 di Jakarta dilangsungkan
Kongres Pemuda II. Kongres itu melahirkan Sumpah Pemuda. Pada malam penutupan
kongres, tanggal 28 Oktober 1928, Soepratman memperdengarkan lagu ciptaannya
secara instrumental di depan peserta umum (secara intrumental dengan biola atas
saran Soegondo berkaitan dengan kondisi dan situasi pada waktu itu, lihat
Sugondo Djojopuspito). Pada saat itulah untuk pertama kalinya lagu Indonesia
Raya dikumandangkan di depan umum. Semua yang hadir terpukau mendengarnya.
Dengan cepat lagu itu terkenal di kalangan pergerakan nasional. Apabila
partai-partai politik mengadakan kongres, maka lagu Indonesia Raya selalu
dinyanyikan. Lagu itu merupakan perwujudan rasa persatuan dan kehendak untuk
merdeka.
Sesudah Indonesia merdeka, lagu Indonesia Raya
dijadikan lagu kebangsaan, lambang persatuan bangsa. Tetapi, pencipta lagu itu,
Wage Roedolf Soepratman, tidak sempat menikmati hidup dalam suasana
kemerdekaan.
Akibat menciptakan lagu Indonesia Raya, ia selalu
diburu oleh polisi Hindia Belanda, sampai jatuh sakit di Surabaya. Karena lagu
ciptaannya yang terakhir "Matahari Terbit" pada awal Agustus 1938, ia
ditangkap ketika menyiarkan lagu tersebut bersama pandu-pandu di NIROM jalan
Embong Malang - Surabaya dan ditahan di penjara Kalisosok-Surabaya. Ia
meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938 karena sakit.
SRI
SULTAN HAMENGKUBUWANA IX
Sri Sultan Hamengkubuwana IX (lahir di
Sompilan Ngasem, Yogyakarta, 12 April 1912 – meninggal di Washington, DC,
Amerika Serikat, 2 Oktober 1988 pada umur 76 tahun) adalah salah seorang raja
yang pernah memimpin di Kasultanan Yogyakarta dan Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta. Ia juga Wakil Presiden Indonesia yang kedua antara tahun 1973-1978.
Ia juga dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia, dan pernah menjabat sebagai
Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.
Biografi
Lahir di Yogyakarta dengan nama GRM
Dorojatun pada 12 April 1912, Hamengkubuwono IX adalah putra dari Sri Sultan
Hamengkubuwono VIII dan Raden Ajeng Kustilah. Di umur 4 tahun Hamengkubuwono IX
tinggal pisah dari keluarganya. Dia memperoleh pendidikan di HIS di Yogyakarta,
MULO di Semarang, dan AMS di Bandung. Pada tahun 1930-an beliau berkuliah di
Rijkuniversiteit (sekarang Universiteit Leiden), Belanda ("Sultan Henkie").
Hamengkubuwono IX dinobatkan sebagai
Sultan Yogyakarta pada tanggal 18 Maret 1940 dengan gelar "Sampeyan Dalem
Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono Senopati Ing Alogo Ngabdurrokhman
Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Songo". Ia
merupakan sultan yang menentang penjajahan Belanda dan mendorong kemerdekaan
Indonesia. Selain itu, dia juga mendorong agar pemerintah RI memberi status
khusus bagi Yogyakarta dengan predikat "Istimewa".
Sejak 1946 beliau pernah beberapa kali menjabat
menteri pada kabinet yang dipimpin Presiden Soekarno. Jabatan resminya pada
tahun 1966 adalah ialah Menteri Utama di bidang Ekuin. Pada tahun 1973 beliau
diangkat sebagai wakil presiden. Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1978,
beliau menolak untuk dipilih kembali sebagai wakil presiden dengan alasan
kesehatan. Namun, ada rumor yang mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur
adalah karena tak menyukai Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa
Malari dan hanyut pada KKN.
Beliau ikut menghadiri perayaan 50 tahun
kekuasaan Ratu Wilhelmina di Amsterdam, Belanda pada tahun 1938
Minggu malam 2 Oktober 1988, ia wafat di
George Washington University Medical Centre, Amerika Serikat dan dimakamkan di
pemakaman para sultan Mataram di Imogiri.
Sultan Hamengku Buwono IX tercatat
sebagai Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja
Kesultanan Yogyakarta terlama antara 1940-1988.
Silsilah
Mata uang Indonesia yang bergambar
Hamengkubuwono IX
* Anak kesembilan dari Sultan Hamengkubuwono
VIII dan istri kelimanya RA Kustilah/KRA Adipati Anum Amangku Negara/Kanjeng
Alit.
*
Memiliki lima istri:
1.
BRA Pintakapurnama/KRA Pintakapurnama tahun 1940
2. RA
Siti Kustina/BRA Windyaningrum/KRA Widyaningrum/RAy Adipati Anum, putri
Pangeran Mangkubumi, tahun 1943
3.
Raden Gledegan Ranasaputra/KRA Astungkara, putri Raden Lurah Ranasaputra dan
Sujira Sutiyati Ymi Salatun, tahun 1948
4.
KRA Ciptamurti
5.
Norma Musa/KRA Nindakirana, putri Handaru Widarna tahun 1976
* Memiliki lima belas putra:
1.
BRM Arjuna Darpita/KGPH Mangkubumi/KGPAA Mangkubumi/Sri Sultan Hamengkubuwono X
dari KRA Widyaningrum
2.
BRM Murtyanta/GBPH Adi Kusuma/KGPH Adi Kusuma dari KRA Pintakapurnama, menikah
dengan Dr. Sri Hardani
3.
BRM Ibnu Prastawa/GBPH Adi Winata dari KRA Widyaningrum, menikah dengan Aryuni
Utari
4.
BRM Kaswara/GBPH Adi Surya dari KRA Pintakapurnama, menikah dengan Andinidevi
5.
BRM Arumanta/GBPH Prabu Kusuma dari KRA Astungkara, menikah dengan Kuswarini
6.
BRM Sumyandana/GBPH Jaya Kusuma dari KRA Windyaningrum
7.
BRM Kuslardiyanta dari KRA Astungkara, menikah dengan Jeng Yeni
8.
BRM Anindita/GBPH Paku Ningrat dari KRA Ciptamurti, menikah dengan Nurita
Afridiani
9.
BRM Sulaksamana/GBPH Yudha Ningrat dari KRA Astungkara, menikah dengan Raden
Roro Endang Hermaningrum
10.
BRM Abirama/GBPH Chandra Ningrat dari KRA Astungkara, menikah dengan Hery
Iswanti
11.
BRM Prasasta/GBPH Chakradiningrat dari KRA Ciptamurti, menikah dengan Lakhsmi
Indra Suharjana
12.
BRM Arianta dari KRA Ciptamurti, menikah dengan Farida Indah.
13.
BRM Sarsana dari KRA Ciptamurti
14.
BRM Harkamaya dari KRA Ciptamurti
15.
BRM Svatindra dari KRA Ciptamurti
* Memiliki tujuh putri:
1.
BRA Gusti Sri Murhanjati/GKR Anum dari KRA Pintakapurnama, menikah dengan
Kolonel Budi Permana/KPH Adibrata yang menjadi Gubernur Sulawesi Selatan
2.
BRA Sri Murdiyatun/GBRAy Murda Kusuma dari KRA Pintakapurnama, menikah dengan
KRT Murda Kusuma
3.
BRA Dr Sri Kuswarjanti/GBRAy Dr. Riya Kusuma dari KRA Widyaningrum, menikah
dengan KRT Riya Kusuma
4.
BRA Dr Sri Muryati/GBRAy Dr. Dharma Kusuma dari KRA Pintakapurnama, menikah
dengan KRT Dharma Kusuma
5.
BRA Kuslardiyanta dari KRA Ciptomurti
6.
BRA Sri Kusandanari dari KRA Astungkara
7.
BRA Sri Kusuladewi/BRAy Padma Kusuma dari KRA Astungkara, menikah dengan KRT Padma
Kusuma
Pendidikan
*
Taman kanak-kanak atau Frobel School asuhan Juffrouw Willer di Bintaran Kidul
*
Eerste Europese Lagere School (1925)
*
Hogere Burger School (HBS, setingkat SMP dan SMU) di Semarang dan Bandung
(1931)
*
Rijkuniversiteit Leiden, jurusan Indologie (ilmu tentang Indonesia) kemudian
ekonomi
Jabatan
Sultan
HB IX sekitar akhir 1940-an
*
Kepala dan Gubernur Militer Daerah Istimewa Yogyakarta (1945)
*
Menteri Negara pada Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947)
*
Menteri Negara pada Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II (3 Juli 1947 - 11
November 1947 dan 11 November 1947 - 28 Januari 1948)
*
Menteri Negara pada Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 - 4 Agustus 1949)
*
Menteri Pertahanan/Koordinator Keamanan Dalam Negeri pada Kabinet Hatta II (4
Agustus 1949 - 20 Desember 1949)
*
Menteri Pertahanan pada masa RIS (20 Desember 1949 - 6 September 1950)
*
Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Natsir (6 September 1950 - 27 April 1951)
*
Ketua Dewan Kurator Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1951)
*
Ketua Dewan Pariwisata Indonesia (1956)
*
Ketua Sidang ke 4 ECAFE (Economic Commision for Asia and the Far East) dan
Ketua Pertemuan Regional ke 11 Panitia Konsultatif Colombo Plan (1957)
*
Ketua Federasi ASEAN Games (1958)
*
Menteri/Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (5 Juli 1959)
*
Ketua Delegasi Indonesia dalam pertemuan PBB tentang Perjalanan dan Pariwisata
(1963)
*
Menteri Koordinator Pembangunan (21 Februari 1966)
*
Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi 11 (Maret 1966)
*
Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka (1968)
*
Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia/KONI (1968)
*
Ketua Delegasi Indonesia di Konferensi Pasific Area Travel Association (PATA)
di California, Amerika Serikat (1968)
*
Wakil Presiden Indonesia (25 Maret 1973 - 23 Maret 1978)
Pahlawan
Nasional
Hamengkubuwana
IX diangkat menjadi pahlawan nasional tanggal 8 Juni 2003 oleh presiden
Megawati Soekarnoputri.
K.H.
AHMAD DAHLAN
Kyai Haji Ahmad Dahlan (lahir di
Yogyakarta, 1 Agustus 1868 – meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada
umur 54 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera
keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah
seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada
masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang
juga menjabat penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu.
Latar
belakang keluarga dan pendidikan
Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah
Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang
keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Ia termasuk
keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang
terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.
Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana 'Ainul
Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng
Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo,
Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad
Darwisy (Ahmad Dahlan).
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, ia bertolak kembali
ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada
Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun
1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Sepulang dari Mekkah, ia menikah
dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang
kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri
Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat
enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti
Aisyah, Siti Zaharah. Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai
Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai
Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya
dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah.
Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.
KH. Ahmad Dahlan dimakamkan di
KarangKajen, Yogyakarta.
Menjadi Pahlawan Nasional
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan
dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan
pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan
Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan
itu ialah sebagai berikut:
1. KH.
Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya
sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;
2. Dengan
organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam
yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan
beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;
3. Dengan
organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan
yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran
Islam; dan
4. Dengan
organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori
kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial,
setingkat dengan kaum pria.
K.H.
AGUS SALIM
Haji Agus Salim (lahir dengan nama
Mashudul Haq (yang bermakna "pembela kebenaran"); lahir di Koto
Gadang, Bukittinggi, Minangkabau, Sumatera Barat, 8 Oktober 1884 – meninggal di
Jakarta, 4 November 1954 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan
Indonesia.
Latar
belakang
Agus Salim lahir dari pasangan Angku
Sutan Mohammad Salim dan Siti Zainab. Ayahnya adalah seorang kepala jaksa di
Pengadilan Tinggi Riau.
Pendidikan dasar ditempuh di
Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa, kemudian
dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil
menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda.
Setelah lulus, Salim bekerja sebagai
penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri.
Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di
Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syeh Ahmad
Khatib, yang masih merupakan pamannya.
Salim kemudian terjun ke dunia
jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai Redaktur II. Setelah itu
diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8
orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga
akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan
Suratkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di
Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem
(AIPO). Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai
pemimpin Sarekat Islam.
Karir politik
Pada tahun 1915, Salim bergabung dengan Sarekat Islam (SI),
dan menjadi pemimpin kedua di SI setelah H.O.S. Tjokroaminoto.
Peran Agus Salim pada masa perjuangan kemerdekaan RI antara lain:
* anggota Volksraad (1921-1924)
* anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945
* Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947
* pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama Mesir pada tahun 1947
* Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947
* Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949
Di antara tahun 1946-1950 ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga kerap kali digelari "Orang Tua Besar" (The Grand Old Man). Ia pun pernah menjabat Menteri Luar Negeri RI pada kabinet Presidentil dan di tahun 1950 sampai akhir hayatnya dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri.
Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI. Biarpun penanya tajam dan kritikannya pedas namun Haji Agus Salim masih mengenal batas-batas dan menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik.
Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia mengarang buku dengan judul Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal.
Ia meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Peran Agus Salim pada masa perjuangan kemerdekaan RI antara lain:
* anggota Volksraad (1921-1924)
* anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945
* Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947
* pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama Mesir pada tahun 1947
* Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947
* Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949
Di antara tahun 1946-1950 ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga kerap kali digelari "Orang Tua Besar" (The Grand Old Man). Ia pun pernah menjabat Menteri Luar Negeri RI pada kabinet Presidentil dan di tahun 1950 sampai akhir hayatnya dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri.
Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI. Biarpun penanya tajam dan kritikannya pedas namun Haji Agus Salim masih mengenal batas-batas dan menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik.
Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia mengarang buku dengan judul Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal.
Ia meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
DEWI SARTIKA
Dewi Sartika (lahir di Bandung, 4 Desember 1884 –
meninggal di Tasikmalaya, 11 September 1947 pada umur 62 tahun) adalah tokoh
perintis pendidikan untuk kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh
Pemerintah Indonesia tahun 1966.
Biografi
Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda,
Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang
tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula.
Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang
berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan
didikan mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya
dari berkat didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda.
Mendirikan sekolah
Mendirikan sekolah
Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan
bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di
Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan.
Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis, dan sebagainya, menjadi
materi pelajaran saat itu
Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara,
pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan)
pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu
dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan
pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten
Bandung.
Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih mememnuhi syarat kelengkapan sekolah formal.
Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih mememnuhi syarat kelengkapan sekolah formal.
Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah
Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh
perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi
Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota
kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia
ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri
(Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum
memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke
Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh.
Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota
kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota
kewedanaan.
Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan
peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian
berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang
ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Meninggal
Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.
Meninggal
Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.
K.H. HASYIM ASYARI
Kyai Haji Mohammad Hasyim Asy'arie (bagian
belakangnya juga sering dieja Asy'ari atau Ashari) (10 April 1875 (24
Dzulqaidah 1287H)–25 Juli 1947; dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang) adalah
pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia.
Keluarga
KH Hasyim Asyari adalah putra ketiga dari 11
bersaudara. Ayahnya bernama Kyai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada
di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim
merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang).
Berikut silsilah lengkapnya[rujukan?]: Ainul Yaqin
(Sunan Giri), Abdurrohman (Jaka Tingkir), Abdul Halim (Pangeran Benawa),
Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda), Abdul Halim, Abdul Wahid, Abu Sarwan, KH.
Asy'ari (Jombang), KH. Hasyim Asy'ari (Jombang)
Pendidikan
KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah
dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang.
Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren,
antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban,
Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan
Pesantren Siwalan di Sidoarjo.
Pada tahun 1892, KH Hasyim Asyari pergi menimba ilmu
ke Mekah, dan berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi.
Perjuangan
Pada tahun 1899, sepulangnya dari Mekah, KH Hasyim
Asyari mendirikan Pesantren Tebu Ireng, yang kelak menjadi pesantren terbesar
dan terpenting di Jawa pada abad 20.
Pada tahun 1926, KH Hasyim Asyari menjadi salah satu
pemrakarsa berdirinya Nadhlatul Ulama (NU), yang berarti kebangkitan ulama.
JOHN LIE
Laksamana Muda TNI
(Purnawirawan) Jahja Daniel Dharma atau yang lebih dikenal sebagai John Lie
(lahir di Manado, Sulawesi Utara, 9 Maret 1911 – meninggal 27 Agustus 1998 pada
umur 87 tahun) adalah salah seorang perwira tinggi di Tentara Nasional Indonesia
Angkatan Laut dari etnis Tionghoa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Ia lahir
dari pasangan suami isteri Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio. Awalnya beliau
bekerja sebagai mualim kapal pelayaran niaga milik Belanda KPM lalu bergabung
dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) sebelum akhirnya diterima di
Angkatan Laut RI. Semula ia bertugas di Cilacap dengan pangkat Kapten. Di
pelabuhan ini selama beberapa bulan ia berhasil membersihkan ranjau yang
ditanam Jepang untuk menghadapi pasukan Sekutu. Atas jasanya, pangkatnya
dinaikkan menjadi Mayor.
Ia lalu ditugaskan
mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk
diperdagangkan di luar negeri dalam rangka mengisi kas negara yang saat itu
masih tipis. Pada masa awal (tahun 1947), ia pernah mengawal kapal yang membawa
karet 800 ton untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI di Singapura, Utoyo
Ramelan. Sejak itu, ia secara rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda.
Karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata.
Senjata yang mereka peroleh lalu diserahkan kepada pejabat Republik yang ada di
Sumatera seperti Bupati Riau sebagai sarana perjuangan melawan Belanda.
Perjuangan mereka tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda, juga
harus menghadang gelombang samudera yang relatif besar untuk ukuran kapal yang
mereka gunakan.
Untuk keperluan operasi
ini, John Lie memiliki kapal kecil cepat, dinamakan the Outlaw. Seperti
dituturkan dalam buku yang disunting Kustiniyati Mochtar (1992), paling sedikit
sebanyak 15 kali ia melakukan operasi "penyelundupan". Pernah saat
membawa 18 drum minyak kelapa sawit, ia ditangkap perwira Inggris. Di
pengadilan di Singapura ia dibebaskan karena tidak terbukti melanggar hukum. Ia
juga mengalami peristiwa menegangkan saat membawa senjata semiotomatis dari
Johor ke Sumatera, dihadang pesawat terbang patroli Belanda. John Lie
mengatakan, kapalnya sedang kandas. Dua penembak, seorang berkulit putih dan
seorang lagi berkulit gelap tampaknya berasal dari Maluku, mengarahkan senjata
ke kapal mereka. Entah mengapa, komandan tidak mengeluarkan perintah tembak.
Pesawat itu lalu meninggalkan the Outlaw tanpa insiden, mungkin persediaan
bahan bakar menipis sehingga mereka buru-buru pergi.
Setelah menyerahkan
senjata kepada Bupati Usman Effendi dan komandan batalyon Abusamah, mereka lalu
mendapat surat resmi dari syahbandar bahwa kapal the Outlaw adalah milik
Republik Indonesia dan diberi nama resmi PPB 58 LB. Seminggu kemudian John Lie
kembali ke Port Swettenham di Malaya untuk mendirikan naval base yang menyuplai
bahan bakar, bensin, makanan, senjata, dan keperluan lain bagi perjuangan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Pada awal 1950 ketika
ada di Bangkok, ia dipanggil pulang ke Surabaya oleh KSAL Subiyakto dan
ditugaskan menjadi komandan kapal perang Rajawali. Pada masa berikut ia aktif
dalam penumpasan RMS (Republik Maluku Selatan) di Maluku lalu PRRI/Permesta. Ia
mengakhiri pengabdiannya di TNI Angkatan Laut pada Desember 1966 dengan pangkat
terakhir Laksamana Muda.
Beliau meninggal dunia
karena stroke pada 27 Agustus 1988 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, Jakarta. Atas segala jasa dan pengabdiannya, beliau dianugerahi
Bintang Mahaputera Utama oleh Presiden Soeharto pada 10 Nopember 1995, Bintang
Mahaputera Adipradana dan gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada 9 November 2009.
ISMAIL
MARZUKI
Ismail Marzuki (lahir di Kwitang, Senen, Jakarta Pusat, 11 Mei 1914 – meninggal di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat, 25 Mei 1958 pada umur 44 tahun) adalah salah seorang komponis besar Indonesia. Namanya sekarang diabadikan sebagai suatu pusat seni di Jakarta yaitu Taman Ismail Marzuki (TIM) di kawasan Salemba, Jakarta Pusat
Latar Belakang
Ismail Marzuki lahir dan besar di
Jakarta dari keluarga Betawi.
Kontribusi bagi Musik Indonesian
Lagu ciptaan karya Ismail Marzuki
yang paling populer adalah Rayuan Pulau Kelapa yang digunakan sebagai lagu
penutup akhir siaran oleh stasiun TVRI pada masa pemerintahan Orde Baru.
Ismail Marzuki mendapat anugerah penghormatan pada tahun 1968 dengan dibukanya Taman Ismail Marzuki, sebuah taman dan pusat kebudayaan di daerah Salemba, Jakarta pusat. Pada tahun 2004 dia dinobatkan menjadi salah seorang tokoh pahlawan nasional Indonesia.
Ia sempat mendirikan orkes Empat Sekawan. Selain itu ia dikenal publik ketika mengisi musik dalam film Terang Bulan.
Ismail Marzuki mendapat anugerah penghormatan pada tahun 1968 dengan dibukanya Taman Ismail Marzuki, sebuah taman dan pusat kebudayaan di daerah Salemba, Jakarta pusat. Pada tahun 2004 dia dinobatkan menjadi salah seorang tokoh pahlawan nasional Indonesia.
Ia sempat mendirikan orkes Empat Sekawan. Selain itu ia dikenal publik ketika mengisi musik dalam film Terang Bulan.
Kontroversi pencipta lagu Halo, Halo
Bandung
Ismail Marzuki selama ini diyakini
sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai pencipta lagu Halo, Halo Bandung
yang terkenal. Lagu tersebut menggambarkan besarnya semangat rakyat Bandung
dalam peristiwa Bandung Lautan Api. Namun sebenarnya siapa pencipta lagu
tersebut yang sebenarnya masih diperdebatkan oleh sebagian masyarakat
Indonesia.
Karya Lagu
Ismail Marzuki, dengan pianonya
* Aryati
* Gugur Bunga
* Melati di Tapal Batas (1947)
* Wanita
* Rayuan Pulau Kelapa
* Sepasang Mata Bola (1946)
* Bandung Selatan di Waktu Malam (1948)
* O Sarinah (1931)
* Keroncong Serenata
* Kasim Baba
* Bandaneira
* Lenggang Bandung
* Sampul Surat
* Karangan Bunga dari Selatan
* Selamat Datang Pahlawan Muda (1949)
* Juwita Malam
* Sabda Alam
* Roselani
* Rindu Malam
* Indonesia Pusaka
Ismail Marzuki, dengan pianonya
* Aryati
* Gugur Bunga
* Melati di Tapal Batas (1947)
* Wanita
* Rayuan Pulau Kelapa
* Sepasang Mata Bola (1946)
* Bandung Selatan di Waktu Malam (1948)
* O Sarinah (1931)
* Keroncong Serenata
* Kasim Baba
* Bandaneira
* Lenggang Bandung
* Sampul Surat
* Karangan Bunga dari Selatan
* Selamat Datang Pahlawan Muda (1949)
* Juwita Malam
* Sabda Alam
* Roselani
* Rindu Malam
* Indonesia Pusaka
MUHAMMAD SALEH WERDISASTRO
Muhammad
Saleh Werdisastro lahir di Sumenep, Madura, 15 Februari 1908; meninggal di
Yogyakarta, 1966 adalah seorang pejuang perintis kemerdekaan yang sepanjang
hayatnya mendirikan dan memimpin sekolah PHIS Soemekar Pangabru Sumenep,
merintis Muhammadiyah Sumenep, menjadi Ketua Hisbul Wathon (HW) Madura, aktivis
Muhammadiyah dan Boedi Oetomo, menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI)
Daerah Yogyakarta yang pertama. Serta tercatat sebagai salah satu pemimpin
penyerbuan markas Jepang di Kota Baru, yang kemudian dikenal sebagai
Pertempuran Kota Baru.
Di
samping itu, beliau juga ikut sebagai salah seorang pendiri Universitas Gadjah
Mada dan Universitas Surakarta dan menjadi Wakil Walikota Yogyakarta, Residen
Kedu, dan Walikota Surakarta untuk dua periode.
Perjalanan
Karir
Setelah
menamatkan sekolahnya di Hogere Kweekschool (HKS) di Purworejo dan Magelang 15
Mei 1930, Muhammad Saleh diangkat menjadi guru Gouvernements HIS (Hollands
Inlandse School), Sekolah Dasar 7 tahun di Rembang, Jawa Tengah. Didorong rasa
nasionalismenya yang tinggi, selama bekerja pada Pemerintah Hindia Belanda
membuat dirinya tidak bahagia, karena sebenarnya bertentangan dengan kehendak
hati nuraninya. Ia tidak ingin mengabdi kepada Pemerintah Kolonial. Setelah
bertahan setahun, ia berhenti menjadi guru di HIS dan kembali ke kampung halamannya,
Sumenep pada 1931.
Di
Sumenep hanya ada satu sekolah HIS milik pemerintah kolonial Belanda khusus
untuk anak-anak Belanda, bangsawan, kaum ningrat, anak priyayi atau anak-anak
orang kaya. Ada keinginan yang luhur dalam jiwa Muhammad Saleh ingin mengadakan
suatu perubahan serta inovasi dalam sistem pendidikan yang selalu mengutamakan
anak-anak orang tertentu. Ia menginginkan dunia pendidikan dalam ruang lingkup
dan intensitas yang yang sama, tidak ada diskriminasi bagi siapapun yang ingin
menuntut ilmu. Ia melihat pendidikan sebagai komponen dasar dalam membangun
kekuatan suatu bangsa.
Walaupun
harus menghadapi berbagai tantangan dan rintangan, dengan tekad bulat, Muhammad
Saleh Werdisastro, mendirikan sekolah setaraf HIS yang dapat menampung
anak-anak lapisan bawah. Bertempat di Karembangan, Sumenep. HIS Partikelir
(PHIS) Sumekar Pangabru dibuka, dipimpin langsung oleh Meneer Muhammad Saleh sendiri
sebagai kepala sekolah.
Lahirnya
PHIS 31 Agustus 1931 ternyata mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat.
Keberadaan PHIS tidak terbatas hanya menuntut ilmu saja, iapun berusaha
menanamkan rasa kebangsaan kepada murid-muridnya misalnya melalui lagu-lagu
yang mengandung nilai-nilai heroik dan patriotik sehingga sikap yang demikian
dianggap tidak memihak kepada pemerintah kolonial, sehingga mendapat teguran
langsung dari Residen Madura, karena murid-murid PHIS tidak mau menyanyikan
lagu kebangsaan Belanda, Wilhelmus. Sebagai aksi perlawanan, Muhammad Saleh kemudian
menghapus mata pelajaran menyanyi di sekolah PHIS.
Keinginannya
untuk menimba ilmu agama secara mendalam selalu menjadi cita-citanya, melalui
metode belajar membaca buku berbagai ilmu pengetahuan umum dan agama, juga
memperdalam pengetahuan agamanya pada para Kyai Sumenep, bahkan sempat mondok
di berbagai pesantren pada saat liburan sekolah, antara lain di Kecamatan
Ambunten, Guluk-Guluk dan di Pesantren Kyai Zainal Arifin Terate, Sumenep.
Setelah
10 tahun menyumbangkan tenaga, pikiran dan waktunya di PHIS Sumekar Pangrabu,
pada 1 September 1941, M. Saleh menyerahkan jabatan kepala sekolah kepada
Meneer Badrul Kamar, seorang pendidik yang dianggap cakap dan mumpuni untuk
memimpin sekolah PHIS. Ia sendiri hijrah ke Jogyakarta dan tetap menjadi guru
di Gesubsidiceerde Inheemse Mulo Muhammadiyah, yang berlangsung sampai
datangnya bala tentara Dai Nippon yang menduduki Indonesia.
Ketika
terjadi pembentukan PETA (Pembela Tanah Air) suatu bagian dari kesatuan tentara
Jepang, para prajurit sampai komandan, semuanya terdiri dari orang Indonesia.
Pihak Jepang mengangkat tokoh-tokoh masyarakat dan agama untuk dijadikan
Komandan PETA. Muh. Saleh terpilih menjadi komandan, bersama tokoh Muhammadiyah
lainnya seperti Sudirman (kemudian menjadi Panglima Besar TNI setelah Indonesia
merdeka), Muljadi Djojomartono (kelak menjadi Menko Kesra), serta tokoh-tokoh
lainnya.
Muh.
Saleh berhenti menjadi guru, setelah menempuh pendidikan Perwira Militer.
Kemudian bertugas sebagai Dai Dancho (Komandan Daidan Batalyon Dai Ni Daidan di
Yogyakarta bermarkas di Bantul dan bertanggung jawab atas pertahanan wilayah
Yogyakarta bagian tengah (mulai dari puncak Gunung Merapi sampai ke pantai laut
selatan). Pada saat itu, Muh. Saleh mendapat berita duka bahwa PHIS Sumekar
Pangrabu Sumenep diambil alih oleh Jepang. Dengan derai air mata kesedihan
beliau hanya bisa berdoa agar penjajahan Jepang cepat berakhir dari bumi
Indonesia. Doa beliau terkabul, pada 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada
Sekutu. PETA dibubarkan dan Muh. Saleh pulang kembali ke Madura. Tanggal 17
Agustus 1945, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Pemerintah
RI membentuk Komite Nasional Indonesia baik di pusat maupun di daerah. Sultan
Yogyakarta Hamengkubuwono IX dan para pemuka masyarakat Yogyakarta mencari
calon yang tepat dan mampu untuk menjadi Ketua KNI Yogyakarta. Untuk daerah
Yogyakarta, dipimpin langsung oleh Sultan sendiri didampingi Ketua KNI. Secara
bulat pilihan jatuh kepada Muhammad Saleh Werdisastro guna memegang tampuk
kepemimpinan KNI di Yogyakarta. Sultan langsung mengirim telegram memanggil beliau
sebagai anggota KNI Pusat.
Selanjutnya
KNI Pusat pada akhirnya dilebur menjadi menjadi DPR dan KNI Daerah menjadi
DPRD. Bekas prajurit PETA menjadi perintis perjuangan melucuti senjata tentara
Jepang dan merupakan cikal bakal TNI. Pada masa itu tentara Jepang yang berada
di Yogyakarta belum mau menyerahkan senjatanya. Muhammad Saleh berusaha
mengadakan perundingan dengan tentara Jepang bertempat di Gedung Negara.
Ada
kisah yang patut diketahui dalam perundingan ini, yang cukup alot dan
berlarut-larut. Rakyat merasa tidak sabar menunggu. Mereka berbondong-bondong
mendatangi Gedung Negara dengan semangat perjuangan sambil berteriak ”Pak Saleh
keluar!”. Tanpa gentar sedikitpun karena dirinya merasa benar dan merasa
berpihak kepada rakyat, dengan sikap kesatria beliau memilih keluar menghadapi
rakyat yang sedang emosi seraya berkata ”Ketahuilah Saudara-saudara, saya
sedang berunding dengan Jepang, percayalah kalian kepada saya”. Kemudian
menghunus keris miliknya dengan suara lantang berteriak di depan massa ”Jika
saya mengkhianati saudara-saudara, bunuh saya dengan keris ini”. Rakyat mulai
tenang dan membubarkan diri.
Sebagai
seorang muslim yang taat, Muh. Saleh selalu menjauhi syirik. Ia tetap
menganggap kerisnya sebagai senjata dan benda biasa yang tidak mungkin dapat
merubah nasib seseorang. Segala apa yang terjadi adalah kehendak Allah semata.
Namun di sisi lain, banyak orang Yogyakarta menganggap keris Pak Saleh tersebut
sangat bertuah dan keramat, sehingga beberapa hari kemudian keris yang ditaruh
dalam tas kantornya hilang dicuri orang.
Jepang
ternyata ngotot tidak mau menyerahkan senjatanya. Dengan semangat patriotisme,
rakyat Yogyakarta dipimpin antara lain oleh Muh. Saleh, menyerbu markas Jepang
di Kota Baru, yang tercatat dalam sejarah sebagai Pertempuran Kota Baru.
Akhirnya Jepang menyerah.
H.
ADAM MALIK
Nama:
H. Adam Malik
Lahir
: Pematang Siantar, 22 Juli 1917
Meninggal:
Bandung, 5 September 1984
Agama:
Islam
Isteri:
Nelly Adam Malik
Ayah:
Abdul Malik Batubara
Ibu:
Salamah Lubis
Pendidikan:
SD
(HIS) dan Madarasah Ibtidaiyah
Otodidak
Jabatan:
Wakil
Presiden RI (23 Maret 1978-1983)
Ketua
MPR/DPR 1977-1978
Ketua
Sidang Majelis Umum PBB ke-26
Wakil
Perdana Menteri II/Menteri Luar Negeri RI (1966-1977)
Menko
Pelaksana Ekonomi Terpimpin (1965)
Ketua
delegasi Indonesia-Belanda (1962)
Duta
besar di Uni Soviet dan Polandia (1959)
Anggota
DPA (1959)
Anggota
Parlemen (1956)
Ketua
III Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1947)
Profesi:
Wartawan (Pendiri LKBN Antara tahun 1937)
Organisasi:
Pinisepuh
Golongan Karya
Pendiri
Partai Murba (1946-1948)
Pendiri
Partai Rakyat (1946)
Ketua
Partindo di Pematang Siantar (1934- 1935)
Adam
Malik
Si
Kancil Pengubah Sejarah
Ia
merupakan personifikasi utuh dari kedekatan antara diplomasi dan media massa.
Jangan kaget, kalau pria otodidak yang secara formal hanya tamatan SD (HIS) ini
pernah menjadi Ketua Sidang Majelis Umum PBB ke-26 di New York dan merupakan
salah satu pendiri LKBN Antara. Kemahirannya memadukan diplomasi dan media
massa menghantarkannya menimba berbagai pengalaman sebagai duta besar, menteri,
Ketua DPR hingga menjadi wakil presiden.
Sang
wartawan, politisi, dan diplomat kawakan, putera bangsa berdarah Batak bermarga
Batubara, ini juga dikenal sebagai salah satu pelaku dan pengubah sejarah yang
berperan penting dalam proses kemerdekaan Indonesia hingga proses pengisian
kemerdekaan dalam dua rezim pemerintahan Soekarno dan Soeharto.
Pria
cerdik berpostur kecil yang dijuluki ''si kancil” ini dilahirkan di Pematang
Siantar, Sumatra Utara, 22 Juli 1917 dari pasangan Haji Abdul Malik Batubara
dan Salamah Lubis. Semenjak kecil ia gemar menonton film koboi, membaca, dan
fotografi. Setelah lulus HIS, sang ayah menyuruhnya memimpin toko 'Murah', di
seberang bioskop Deli. Di sela-sela kesibukan barunya itu, ia banyak membaca
berbagai buku yang memperkaya pengetahuan dan wawasannya.
Ketika
usianya masih belasan tahun, ia pernah ditahan polisi Dinas Intel Politik di
Sipirok 1934 dan dihukum dua bulan penjara karena melanggar larangan berkumpul.
Adam Malik pada usia 17 tahun telah menjadi ketua Partindo di Pematang Siantar
(1934- 1935) untuk ikut aktif memperjuangkan kemerdekaan bangsanya.
Keinginannya untuk maju dan berbakti kepada bangsa mendorong Adam Malik
merantau ke Jakarta.
Pada
usia 20 tahun, Adam Malik bersama dengan Soemanang, Sipahutar, Armin Pane,
Abdul Hakim, dan Pandu Kartawiguna, memelopori berdirinya kantor berita Antara
tahun 1937 berkantor di JI. Pinangsia 38 Jakarta Kota. Dengan modal satu meja
tulis tua, satu mesin tulis tua, dan satu mesin roneo tua, mereka menyuplai
berita ke berbagai surat kabar nasional. Sebelumnya, ia sudah sering menulis
antara lain di koran Pelita Andalas dan Majalah Partindo.
Di
zaman Jepang, Adam Malik aktif bergerilya dalam gerakan pemuda memperjuangkan
kemerdekaan. Menjelang 17 Agustus 1945, bersama Sukarni, Chaerul Saleh, dan
Wikana, Adam Malik pernah melarikan Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok
untuk memaksa mereka memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Demi
mendukung kepemimpinan Soekarno-Hatta, ia menggerakkan rakyat berkumpul di
lapangan Ikada, Jakarta. Mewakili kelompok pemuda, Adam Malik sebagai pimpinan
Komite Van Aksi, terpilih sebagai Ketua III Komite Nasional Indonesia Pusat
(1945-1947) yang bertugas menyiapkan susunan pemerintahan. Selain itu, Adam
Malik adalah pendiri dan anggota Partai Rakyat, pendiri Partai Murba, dan
anggota parlemen.
Akhir
tahun lima puluhan, atas penunjukan Soekarno, Adam Malik masuk ke pemerintahan
menjadi duta besar luar biasa dan berkuasa penuh untuk Uni Soviet dan Polandia.
Karena kemampuan diplomasinya, Adam Malik kemudian menjadi ketua Delegasi RI
dalam perundingan Indonesia-Belanda, untuk penyerahan Irian Barat di tahun
1962. Selesai perjuangan Irian Barat (Irian Jaya), Adam Malik memegang jabatan
Menko Pelaksana Ekonomi Terpimpin (1965). Pada masa semakin menguatnya pengaruh
Partai Komunis Indonesia, Adam bersama Roeslan Abdulgani dan Jenderal Nasution
dianggap sebagai musuh PKI dan dicap sebagai trio sayap kanan yang
kontra-revolusi.
Ketika
terjadi pergantian rezim pemerintahan Orde Lama, posisi Adam Malik yang
berseberangan dengan kelompok kiri justru malah menguntungkannya. Tahun 1966,
Adam disebut-sebut dalam trio baru Soeharto-Sultan-Malik. Pada tahun yang sama,
lewat televisi, ia menyatakan keluar dari Partai Murba karena pendirian Partai
Murba, yang menentang masuknya modal asing. Empat tahun kemudian, ia bergabung
dengan Golkar. Sejak 1966 sampai 1977 ia menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri
II / Menlu ad Interim dan Menlu RI.
Sebagai
Menlu dalam pemerintahan Orde Baru, Adam Malik berperanan penting dalam
berbagai perundingan dengan negara-negara lain termasuk rescheduling utang
Indonesia peninggalan Orde Lama. Bersama Menlu negara-negara ASEAN, Adam Malik
memelopori terbentuknya ASEAN tahun 1967. Ia bahkan dipercaya menjadi Ketua
Sidang Majelis Umum PBB ke-26 di New York. Ia orang Asia kedua yang pernah
memimpin sidang lembaga tertinggi badan dunia itu. Tahun 1977, ia terpilih
menjadi Ketua DPR/MPR. Kemudian tiga bulan berikutnya, dalam Sidang Umum MPR
Maret 1978 terpilih menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia yang ke-3
menggantikan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang secara tiba-tiba menyatakan
tidak bersedia dicalonkan lagi.
Beberapa
tahun setelah menjabat wakil presiden, ia merasa kurang dapat berperan banyak.
Maklum, ia seorang yang terbiasa lincah dan aktif tiba-tiba hanya berperan
sesekali meresmikan proyek dan membuka seminar. Kemudian dalam beberapa kesempatan
ia mengungkapkan kegalauan hatinya tentang feodalisme yang dianut pemimpin
nasional. Ia menganalogikannya seperti tuan-tuan kebon.
Sebagai
seorang diplomat, wartawan bahkan birokrat, ia seing mengatakan ‘semua bisa
diatur”. Sebagai diplomat ia memang dikenal selalu mempunyai 1001 jawaban atas
segala macam pertanyaan dan permasalahan yang dihadapkan kepadanya. Tapi
perkataan ‘semua bisa diatur’ itu juga sekaligus sebagai lontaran kritik bahwa
di negara ini ‘semua bisa di atur’ dengan uang.
Setelah
mengabdikan diri demi bangsa dan negaranya, H.Adam Malik meninggal di Bandung
pada 5 September 1984 karena kanker lever. Kemudian, isteri dan anak-anaknya
mengabadikan namanya dengan mendirikan Museum Adam Malik. Pemerintah juga
memberikan berbagai tanda kehormatan
WAHIDIN
SUDIROHUSODO
,
dr. (lahir di Mlati, Sleman, Yogyakarta, 7 Januari 1852 – meninggal di
Yogyakarta, 26 Mei 1917 pada umur 65 tahun) adalah salah seorang pahlawan
nasional Indonesia. Namanya selalu dikaitkan dengan Budi Utomo karena walaupun
ia bukan pendiri organisasi kebangkitan nasional itu, dialah penggagas
berdirinya organisasi yang didirikan para pelajar School tot Opleiding van
Inlandsche Artsen Jakarta itu.
Pendidikan
*
Sekolah Dasar di Yogyakarta
*
Europeesche Lagere School di Yogyakarta
*
Sekolah Dokter Jawa di Jakarta
Latar Belakang
Dokter
lulusan STOVIA ini sangat senang bergaul dengan rakyat biasa. Sehinggga tak
heran bila ia mengetahui banyak penderitaan rakyat. Ia juga sangat menyadari
bagaimana terbelakang dan.tertindasnya rakyat akibat penjajahan Belanda.
Menurutnya, salah satu cara untuk membebaskan diri dari penjajahan, rakyat
harus cerdas. Untuk itu, rakyat harus diberi kesempatan mengikuti pendidikan di
sekolah-sekolah. Sebagai dokter, ia sering mengobati rakyat tanpa memungut
bayaran.
Dua
pokok yang menjadi perjuangannya ialah memperluas pendidikan dan pengajaran dan
memupuk kesadaran kebangsaan.
Lahirnya Budi Utomo
Wahidin
Sudirohusodo sering berkeliling kota-kota besar di Jawa mengunjungi tokoh-tokoh
masyarakat sambil memberikan gagasannya tentang "dana pelajar" untuk
membantu pemuda-pemuda cerdas yang tidak dapat melanjutkan sekolahnya. Akan
tetapi gagasan ini kurang mendapat tanggapan.
Gagasan
itu juga dikemukakannya pada para pelajar STOVIA di Jakarta tentang perlunya
mendirikan organisasi yang bertujuan memajukan pendidikan dan meninggikan
martabat bangsa. Gagasan ini ternyata di sambut baik oleh para pelajar STOVIA
tersebut. Akhirnya pada tanggal 20 Mei 1908, lahirlah Budi Utomo.
IR
H DJUANDA KARTAWIDJAJA (1911-1963)
Pendeklarasi
Negara Kepulauan
Perdana
Menteri Ir H Djuanda Kartawidjaja, pada 13 Desember 1957 mendeklarasikan bahwa
Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan. Pria kelahiran Tasikmalaya,
Jawa Barat, 14 Januari 1911, itu dengan kepemimpinan yang berani dan visioner
mendeklarasikan bahwa semua pulau dan laut Nusantara adalah satu kesatuan yang
tidak terpisahkan (wawasan nusantara). Maka sangat bijak ketika hari Deklarasi
Djuanda itu kemudian melalui Keppres No.126/2001 dikukuhkan sebagai Hari
Nusantara.
Ir
H Djuanda Kartawidjaja, lulusan Technische Hogeschool (Sekolah Tinggi Teknik) –
sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB), yang beberapa kali menjabat menteri
di antaranya Menteri Perhubungan, Pengairan, Kemakmuran, Keuangan dan
Pertahanan, itu sebelumnya sangat risau melihat pengakuan masyarakat
internasional kala itu yang hanya mengakui bahwa batas laut teritorial selebar
3 mil laut terhitung dari garis pantai terendah. Itu artinya pulau-pula
Nusantara dalam wilayan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan
17 Agustus 1945, adalah pulau-pulau yang terpisah-pisah oleh perairan (lautan)
internasional (bebas).
Negara-negara
lain, terutama Amerika Serikat dan Australia, sangat berkepentingan
mempertahankan kondisi pulau-pulau Indonesia yang terpisah-pisah itu. Tetapi PM
Djuanda dengan berani mendobrak kepentingan negara-negara maju itu.
Dengan
berani dia mengumumkan kepada dunia (Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957) bahwa
segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang
termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau
lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik
Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan pedalaman atau
perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia.
Djuanda,
dengan berani mengumumkan kepada dunia, bahwa wilayah laut Indonesia tidaklah
sebatas yang diatur dalam Territoriale Zee Maritiem Kringen Ordonantie
(ordonansi tentang laut teritorial dan lingkungan maritim) 1939, tetapi wilayah
laut Indonesia adalah termasuk laut di sekitar, diantara, dan di dalam
Kepulauan Indonesia.
Deklarasi
tiu juga menyatakan penentuan batas laut 12 mil yang diukur dari garis-garis
yang menghubungkan titik terluar pada pulau-pulau Negara Republik Indonesia
akan ditentukan dengan Undang-undang.
Deklarasi
itu ditentang oleh Amerika Serikat dan Australia. Namun, Djuanda dan para
penerus dalam pemerintahan berikutnya, di antaranya Prof Dr Mochtar
Kusumaatmadja dan Prof Dr Hasyim Djalal, dengan gigih berjuang melalui
diplomasi sehingga konsepsi negara nusantara tersebut diterima dan ditetapkan
dalam Konvensi Hukum Laut PBB, United Nation Convention on Law of the Sea
(UNCLOS) 1982.
Dengan
demikian, Indonesia menjadi negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia.
Memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta km2 yang merupakan tiga per empat dari
keseluruhan wilayah Indonesia. Di dalam wilayah laut itu terdapat sekitar
17.500 lebih dan dikelilingi garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan
garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.
Deklarasi
Djuanda secara geo-politik memiliki arti yang sangat strategis bagi kesatuan,
persatuan, pertahanan dan kedaulatan serta kemajuan Indonesia. Deklarasi
Djoeanda dapat disebut merupakan pilar utama ketiga dari bangunan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Tiga pilar utama tersebut adalah: (1) Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1928 yang merupakan pernyataan Kesatuan Kejiwaan Indonesia;
(2) Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai pernyataan kemerdekaan NKRI; Delarasi
Djuanda 13 Desember 1957 sebagai pernyataan Kesatuan Kewilayahan Indonesia
(darat, laut dan udara).
Secara
geo-ekonomi Deklarasi Djuanda juga strategis bagi kejayaan dan kemakmuran
Indonesia. Sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia, Indonesia
memiliki kekayaan laut yang sangat besar dan beraneka-ragam, baik berupa
sumberdaya alam terbarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove,
rumput laut, dan produk-produk bioteknologi), sumberdaya alam yang tak
terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, emas, perak, timah, bijih besi,
bauksit, dan mineral lainnya), juga energi kelautan seperti pasang-surut,
gelombang, angin, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), maupun jasa-jasa
lingkungan kelautan seperti pariwisata bahari dan transportasi laut.
Abdi Negara
Ir
Djuanda seorang abdi negara dan abdi masyarakat. Dia seorang pegawai negeri
yang patut diteladani. Meniti karir dalam berbagai jabatan pengabdian kepada
negara dan bangsa. Semenjak lulus dari Technische Hogeschool (1933) dia memilih
mengabdi di tengah masyarakat. Dia memilih mengajar di SMA Muhammadiyah di
Jakarta dengan gaji seadanya. Padahal, kala itu dia ditawari menjadi asisten
dosen di Technische Hogeschool dengan gaji lebih besar.
Setelah
empat tahun mengajar di SMA Muhammadiyah Jakarta, pada 1937, Djuanda mengabdi
dalam dinas pemerintah di Jawaatan Irigasi Jawa Barat. Selain itu, dia juga
aktif sebagai anggota Dewan Daerah Jakarta.
Setelah
Proklamasi 17 Agustus 1945, tepatnya pada 28 September 1945, Djuanda memimpin
para pemuda mengambil-alih Jawatan Kereta Api dari Jepang. Disusul
pengambil-alihan Jawatan Pertambangan, Kotapraja, Keresidenan dan obyek-obyek militer
di Gudang Utara Bandung.
Kemudian
pemerintah RI mengangkat Djuanda sebagai Kepala Jawatan Kereta Api untuk
wilayah Jawa dan Madura. Setelah itu, dia diangkat menjabat Menteri
Perhubungan. Dia pun pernah menjabat Menteri Pengairan, Kemakmuran, Keuangan
dan Pertahanan. Beberapa kali dia memimpin perundingan dengan Belanda. Di
antaranya dalam Perundingan KMB, dia bertindak sebagai Ketua Panitia Ekonomi
dan Keuangan Delegasi Indonesia. Dalam Perundingan KMB ini, Belanda mengakui
kedaulatan pemerintahan RI.
Djuanda
sempat ditangkap tentara Belanda saat Agresi Militer II tanggal 19 Desember
1948. Dia dibujuk agar bersedia ikut dalam pemerintahan Negara Pasundan. Tetapi
dia menolak.
Dia
seorang abdi negara dan masyarakat yang bekerja melampaui batas panggilan
tugasnya. Mampu menghadapi tantangan dan mencari solusi terbaik demi
kepentingan bangsa dan negaranya. Karya pengabdiannya yang paling strategis
adalah Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957.
Dia
seorang pemimpin yang luwes. Dalam beberapa hal dia kadangkala berbeda pendapat
dengan Presiden Soekarno dan tokoh-tokoh politik lainnya. Djuanda meninggal
dunia di Jakarta 7 November 1963 dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
ABDULRAHMAN SALEH
Abdulrahman Saleh,
Prof. dr. Sp.F, Marsekal Muda Anumerta, (lahir di Jakarta, 1 Juli 1909 –
meninggal di Maguwoharjo, Sleman, 29 Juli 1947 pada umur 38 tahun) atau sering
dikenal dengan nama julukan "Karbol" adalah seorang pahlawan nasional
Indonesia, tokoh Radio Republik Indonesia (RRI) dan bapak fisiologi kedokteran
Indonesia.
Kegiatan kedokteran dan militer
Setelah ia memperoleh
ijazah dokter, ia mendalami pengetahuan ilmu faal. Setelah itu ia mengembangkan
ilmu faal ini di Indonesia. Oleh karena itu, Universitas Indonesia pada 5
Desember 1958 menetapkan Abdulrachman Saleh sebagai Bapak Ilmu Faal Indonesia.
Ia juga aktif dalam
perkumpulan olah raga terbang dan berhasil memperoleh ijazah atau surat izin
terbang. Selain itu, ia juga memimpin perkumpulan VORO (Vereniging voor
Oosterse Radio Omroep), sebuah perkumpulan dalam bidang radio. Maka sesudah
kemerdekaan diproklamasikan, ia menyiapkan sebuah pemancar yang dinamakan
Siaran Radio Indonesia Merdeka. Melalui pemancar tersebut, berita-berita
mengenai Indonesia terutama tentang proklamasi Indonesia dapat disiarkan hingga
ke luar negeri. Ia juga berperan dalam mendirikan Radio Republik Indonesia yang
berdiri pada 11 September 1945.
Setelah menyelesaikan
tugasnya itu, ia berpindah ke bidang militer dan memasuki dinas Angkatan Udara
Ia diangkat menjadi Komandan Pangkalan Udara Madiun pada 1946. Ia turut
mendirikan Sekolah Teknik Udara dan Sekolah Radio Udara di Malang. Sebagai
Angakatan Udara, ia tidak melupakan profesinya sebagai dokter, ia tetap
memberikan kuliah pada Perguruan Tinggi Dokter di Klaten, Jawa Tengah.
Akhir hidup
Pada saat Belanda
mengadakan agresi pertamanya, Adisutjipto dan Abdulrachman Saleh diperintahkan
ke India. Dalam perjalanan pulang mereka mampir di Singapura untuk mengambil
bantuan obat-obatan dari Palang Merah Malaya. Keberangkatan dengan pesawat
Dakota ini, mendapat publikasi luas dari media massa dalam dan luar negeri.
Tanggal 29 Juli 1947,
ketika pesawat berencana kembali ke Yogyakarta melalui Singapura, harian
Malayan Times memberitakan bahwa penerbangan Dakota VT-CLA sudah mengantongi
ijin pemerintah Inggris dan Belanda. Sore harinya, Suryadarma, rekannya baru
saja tiba dengan mobil jip-nya di Maguwo. Namun, pesawat yang ditumpanginya
ditembak oleh dua pesawat P-40 Kitty-Hawk Belanda dari arah utara. Pesawat
kehilangan keseimbangan dan menyambar sebatang pohon hingga badannya patah
menjadi dua bagian dan akhirnya terbakar.
Peristiwa heroik ini,
diperingati TNI AU sebagai hari Bakti TNI AU sejak tahun 1962 dan sejak 17
Agustus 1952, Maguwo diganti menjadi Lanud Adisutjipto.
Abulrachman Saleh
dimakamkan di Yogyakarta dan ia diangkat menjadi seorang Pahlawan Nasional
berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.071/TK/Tahun 1974,
tanggal 9 Nopember 1974.
Pada tanggal 14 Juli
2000, atas prakarsa TNI-AU, makam Abdulrahman Saleh, Adisucipto, dan para istri
mereka dipindahkan dari pemakaman Kuncen ke Kompleks Monumen Perjuangan TNI AU
Dusun Ngoto, Desa Tamanan, Banguntapan, Bantul, DI Yogyakarta.
Nama Ia diabadikan
sebagai nama Pangkalan TNI-AU dan Bandar Udara di Malang. Selain itu, piala
bergilir yang diperebutkan dalam Kompetisi Kedokteran dan Biologi Umum (Medical
and General Biology Competition) disebut Piala Bergilir Abdulrahman Saleh.
Karbol
Mengharapkan semua
lulusan Akademi Angkatan Udara dapat mencontoh keteladanan dan mampu mencapai
kualitas seorang perwira seperti Abdulrachman Saleh, para taruna AAU dipanggil
dengan nama Karbol. Hal ini pertama kali diusulkan oleh Letkol Saleh Basarah
setelah beliau mengunjungi United States Air Force Academy di Colorado Springs,
Amerika Serikat. Para kadet di sana dipanggil dengan nama Dollies, nama kecil
dari Jenderal USAF James H Doollitle, seorang penerbang andal yang serba bisa.
Ia penerbang tempur Amerika Serikat yang banyak jasanya pada Perang Dunia I
KI HAJAR DEWANTARA
Ki
Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.Terlahir dengan
nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga
kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40
tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara.
Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan
namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik
secara fisik maupun hatinya.
Perjalanan
hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan
bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian
sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat
karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar
antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda,
Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal.
Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu
membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain
ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan
politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk
mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu
mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian,
bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto
Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang
beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan
mencapai Indonesia merdeka.
Mereka
berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada
pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui
Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan
menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah
karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan
menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian
setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut
membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai
komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda.
Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud
merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan
menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
Sehubungan
dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens
Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook
Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan
Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik
dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:
"Sekiranya
aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di
negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan
pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si
inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.
Pikiran
untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang
kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau
aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku
terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi
suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun".
Akibat
karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg
menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum
buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh
bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.
Douwes
Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan
tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi.
Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan
memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman
internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang
ke pulau Banda.
Namun
mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa
memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan
ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.
Kesempatan
itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte.
Kemudian
ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di
bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.
Setelah
pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan
sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut
Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini
sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka
mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Tidak
sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial
Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada
1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga
ordonansi itu kemudian dicabut.
Di
tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di
Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari
nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya
berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan
dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Sementara
itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan
tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat
(Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di
samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.
Setelah
zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara
bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak
Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan
Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui
surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959.
Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas
Gajah Mada pada tahun 1957.
Dua
tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada
tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.
Kemudian
oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti
Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar
Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar
sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi
museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta
data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik,
budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan
dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
Bangsa
ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan
bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya,
adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus
didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.
Hari
lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal
ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa
(di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di
depan memberi teladan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar