SEJARAH PERJUANGAN
BANGSA INDONESIA
SECARA FISIK DAN
DIPLOMASI
Sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia telah mencapai
puncaknya dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Waktu itu Jepang mengalami kekalahan dengan sekutu, sehingga keadaan ini
dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh bangsa Indonesia untuk memproklamasikan
kemerdekaannya. Dengan proklamasi inilah Negara Indonesia terlahir.
Sebagai Negara yang baru saja terbentu, tentunya Indonesia
masih rentan dengan penjajahan bangsa asing maupun pemberontakan bangsa
sendiri. Kemerdekaan bangsa Indonesia yang baru sebentar ini mendapatkan
gangguan dari Belanda. Awalnya bangsa Indonesia menyabut baik kedatangan
Belanda, namum setelah mengetahui Belanda diboncengi Sekutu, rakyat Indonesia
merasa terganggu. Dari situlah mulai terjadi perlawanan diberbagai daerah di
Indonesia. Perlawanan bangsa Indonesia ini dilakukan secara fisik maupun secara
diplomasi.
Semenjak Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada
tanggal 14 Agustus 1945 maka secara hukum tidak lagi berkuasa di Indonesia. Hal
ini mengakibatkan Indonesia berada dalam keadaan vacum of power (tidak ada
pemerintah yang berkuasa) dan waktu itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh bangsa
Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya. Pada tanggal 10 September 1945
Panglima Bala Tentara Kerajaan Jepang di Jawa mengumumkan bahwa pemerintahan
akan diserahkan pada Sekutu bukan pada pihak Indonesia. Dan pada tanggal 14
September 1945 Mayor Greenhalg perwirwa Sekutu datang ke Jakarta untuk
mempelajari dan melaporkan keadaan di Indonesia menjelang pendaratan rombongan
Sekutu.
Pada tanggal 29 September 1945
Sekutu tiba mendarat di Jakarta dan bertugas melucuti tentara jepang. Tugas ini
dilakukan oleh Komando Pertahanan Sekutu di Asia Tenggara yang bernama South
East Asia Command (SEAC) di bawah pimpinan Lord Louis Mountbatten yang berpusat
di Singapura. Untuk melaksanakan tugas itu, Mountbatten membentuk suatu komando
khusus yang diberi nama Allied Forces Natherland East Indies (AFNEI) di bawah
pimpinan Letnan Jendral Sir Philip Chirstison. Adapun tugas AFNEI :
1) Melindungi dan menjalankan
pemindahan tawanan perang dan orang interniran.
2) Melucuti tentara Jepang dan
mengembalikannya.
3) Menegakkan dan mempertahankan
keadaan damai untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah sipil.
4) Menghimpun keterangan tentang
penjahat perang.
Dalam menjalankan misiya di
Indonesia, AFNEI hanya berkonsentrasi tugas di Jawa dan Sumatera. Terbagi dalam
3 divisi,yaitu :
1) 23 tahun Indian Division dibawah
komando Mayor Jendral D.C Hawthorn (divisi ini berlokasi di Jawa Barat)
2) 5 tahun Indian Division,di bawah
komando Mayor Jendral E.C Mansergh (divisi ini berlokasi di Jawa Timur)
3) 26 tahun Indian Division,di bawah
komando Mayor Jendral H.M Chambers (divisi ini berlokasi di Sumatera)
Sementara daerah-daerah Indonesia lainnya di pegang tentara
Australia-turut bergabung dalam tentara sekutu. Awalnya rakyat Indonesia,
menyambut gembira kedatangan tentara Sekutu. Namun, ketika diketahui bahwa
tentara Sekutu membawa NICA (Nederland
Indies Civil Administration) yang ingin menengakkan kembali kekuasaan
kolonial Hindia Belanda, rakyat Indonesia mengambil sikap bermusuhan. Sikap ini
memiliki dasar menilik Civil Affair
Agreement (perjanjian sipil) antara pemerintah Inggris dengan Belanda di
Chequers (dekat London), tertanggal 24 Agustus 1945 menyebutkan yang
diperbolehkan mendarat di Indonesia hanyalah tentara Inggris.
Bentuk
Perjuangan Bangsa Indonesia :
A.
PERJUANGAN FISIK ( PERJUANGAN
BERSENJATA)
Ternyata kedatangan tersebut merugikan Indonesia dan
menimbulkan reaksi di berbagai daerah di Indonesia seperti :
a.
Pertemuan Surabaya 10 November 1945
Pada tanggal 25 Oktober 1945 Brigade 49 di bawah pimpinan
Brigadir Jenderal A W.S. Mallaby mendarat di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.
Brigadir ini merupakan bagian dari Divisi India ke-23, dibawah pimpinan
Jenderal D.C. Hawthorn. Mereka mendapat tugas melucuti tentara Jepang dan
menyelamatkan tawanan Sekutu. Pasukan ini berkekuatan 6000 personil di mana
perwira-perwiranya kebanyakan orang-orang Inggris dan prajuritnya orang-orang
Gurkha dari Nepal yang telah berpengalaman perang. Rakyat dan pemerintah Jawa
Timur di bawah pimpinan Gubernur R.M.T.A Suryo semula enggan menerima
kedatangan Sekutu. Kemudian antara wakil-wakil pemerintah RI dan Birgjen AW.S.
Mallaby mengadakan pertemuan yang menghasilkan kesepakatan sebagai berikut.
1) Inggris berjanji mengikutsertakan
Angkatan Perang Belanda.
2) Disetujui kerja sama kedua belah
pihak untuk menjamin keamanan dan ketenteraman.
3) Akan dibentuk kontak biro agar kerja
sama berjalan lancar.
4) Inggris hanya akan melucuti senjata
Jepang.
Pada
tanggal 26 Oktober 1945 pasukan Sekutu melanggar kesepakatan terbukti melakukan
penyergapan ke penjara Kalisosok. Mereka akan membebaskan para tawanan Belanda
di antaranya adalah Kolonel Huiyer. Tindakan ini dilanjutkan dengan penyebaran
pamflet yang berisi perintah agar rakyat Surabaya menyerahkan senjata-senjata
mereka. Rakyat Surabaya dan TKR bertekad untuk mengusir Sekutu dari bumi Indonesia
dan tidak akan menyerahkan senjata mereka. Kontak senjata antara rakyat
Surabaya melawan Inggris terjadi pada tanggal 27 Oktober 1945. Para pemuda
dengan perjuangan yang gigih dapat melumpuhkan tank-tank Sekutu dan berhasil
menguasai objek-objek vital. Strategi yang digunakan rakyat Surabaya adalah
dengan mengepung dan menghancurkan pemusatan-pemusatan tentara Inggris kemudian
melumpuhkan hubungan logistiknya. Serangan tersebut mencapai kemenangan yang
gemilang walaupun di pihak kita banyak jatuh korban. Pada tanggal 29 Oktober
1945 Bung Karno beserta Jenderal D.C. Hawthorn tiba di Surabaya.
Dalam
perundingan antara pemerintah RI dengan Mallaby dicapai kesepakatan untuk
menghentikan kontak senjata. Kesepakatan ini dilanggar oleh pihak Sekutu. Dalam
salah satu insiden, Jenderal Mallaby terbunuh. Dengan terbunuhnya Mallaby,
pihak Inggris menuntut pertanggungjawaban kepada rakyat Surabaya. Pada tanggal
9 November 1945 Mayor Jenderal E.C. Mansergh sebagai pengganti Mallaby
mengeluarkan ultimatum kepada bangsa Indonesia di Surabaya. Ultimatum itu
isinya agar seluruh rakyat Surabaya beserta pemimpin-pemimpinnya menyerahkan
diri dengan senjatanya, mengibarkan bendera putih, dan dengan tangan di atas
kepala berbaris satu-satu. Jika pada pukul 06.00 ultimatum itu tidak diindahkan
maka Inggris akan mengerahkan seluruh kekuatan darat, laut, dan udara.
Ultimatum ini dirasakan sebagai penghinaan terhadap martabat bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang cinta damai tetapi lebih cinta
kemerdekaan. Oleh karena itu rakyat Surabaya menolak ultimatum tersebut secara
resmi melalui pernyataan Gubernur Suryo. Karena penolakan ultimatum itu maka
meletuslah pertempuran pada tanggal 10 Nopember 1945. Melalui siaran radio yang
dipancarkan dari Jl. Mawar No.4 Bung Tomo membakar semangat juang arek-arek
Surabaya. Kontak senjata pertama terjadi di Perak sampai pukul 18.00. Pasukan
Sekutu di bawah pimpinan Jenderal Mansergh mengerahkan satu Divisi infantri
sebanyak 10.000 - 15.000 orang dibantu tembakan dari laut oleh kapal perang
penjelajah “Sussex” serta pesawat tempur “Mosquito” dan “Thunderbolt”.
Setiap
tanggal 10 November bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Hal ini
sebagai penghargaan atas jasa para pahlawan di Surabaya yang mempertahankan
tanah air Indonesia dari kekuasaan asing.
b.
Pertempuran Ambarawa
Kedatangan Sekutu di Semarang
tanggal 20 Oktober 1945 dibawah pimpinan Brigadir Jenderal Bethel semula
diterima dengan baik oleh rakyat karena akan mengurus tawanan perang. Akan
tetapi, secara diam-diam mereka diboncengi NICA dan mempersenjatai para bekas
tawanan perang di Ambarawa dan Magelang. Setelah terjadi insiden di Magelang
antara TKR dengan tentara Sekutu maka pada tanggal 2 November 1945 Presiden
Soekarno dan Brig.Jend. Bethel mengadakan perundingan gencatan senjata.
Pada tanggal 21 November 1945
pasukan Sekutu mundur dari Magelang ke Ambarawa. Gerakan ini segera dikejar
resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letnan Kolonel M. Sarbini dan meletuslah
pertempuran Ambarawa. Pasukan Angkatan Muda di bawah Pimpinan Sastrodihardjo
yang diperkuat pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta menghadang
Sekutu di desa Lambu. Dalam pertempuran di Ambarawa ini gugurlah Letnan Kolonel
Isdiman, Komandan Resimen Banyumas. Dengan gugurnya Letnan Kolonel Isdiman, komando
pasukan dipegang oleh Kolonel Soedirman, Panglima Divisi di Purwokerto. Kolonel
Soedirman mengkoordinir komandan-komandan sektor untuk menyusun strategi
penyerangan terhadap musuh. Pada tanggal 12 Desember 1945 pasukan TKR berhasil
mengepung musuh yang bertahan di benteng Willem, yang terletak di tengah-tengah
kota Ambarawa. Selama 4 hari 4 malam kota Ambarawa di kepung. Karena merasa
terjepit maka pada tanggal 15 Desember 1945 pasukan Sekutu meninggalkan
Ambarawa menuju ke Semarang.
Berita Proklamasi Kemerdekaan baru sampai di Medan pada
tanggal 27 Agustus 1945. Hal ini disebabkan sulitnya komunikasi dan adanya
sensor dari tentara Jepang. Berita tersebut dibawa oleh Mr. Teuku M. Hasan yang
diangkat menjadi Gubernur Sumatra. Ia ditugaskan oleh pemerintah untuk
menegakkan kedaulatan Republik Indonesia di Sumatera dengan membentuk Komite
Nasional Indonesia di wilayah itu. Pada tanggal 9 Oktober 1945 pasukan Sekutu
mendarat di Sumatera Utara di bawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly.
Serdadu Belanda dan NICA ikut membonceng pasukan ini yang
dipersiapkan mengambil alih pemerintahan. Pasukan Sekutu membebaskan para
tawanan atas persetujuan Gubernur Teuku M. Hassan. Para bekas tawanan ini
bersikap congkak sehingga menyebabkan terjadinya insiden di beberapa tempat.
Achmad Tahir, seorang bekas perwira tentara Sukarela
memelopori terbentuknya TKR Sumatra Tirnur. Pada tanggal l0 Oktober 1945. Di
samping TKR, di Sumatera Timur terbentuk Badan-badan perjuangan dan
laskar-laskar partai.
Pada tanggal 18 Oktober 1945 Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly
memberikan ultimatum kepada pemuda Medan agar menyerahkan senjatanya. Aksi-aksi
teror mulai dilakukan oleh Sekutu dan NICA. Pada tanggal 1 Desember 1945 Sekutu
memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di berbagai
sudut pinggiran kota Medan. Mereka dengan gigih membalas setiap aksi yang
dilakukan pihak Inggris dan NICA. Pada tanggal 10 Desember 1945 pasukan Sekutu
melancarkan serangan militer secara besar-besaran dengan menggunakan
pesawat-pesawat tempur. Pada bulan April 1946 pasukan Inggris berhasil mendesak
pemerintah RI ke luar Medan. Gubernur, Markas Divisi TKR, Walikota RI pindah ke
Pematang Siantar. Walaupun belum berhasil menghalau pasukan Sekutu, rakyat
Medan terus berjuang dengan membentuk Laskar Rakyat Medan Area.
Selain di daerah Medan, di daerah-daerah sekitarnya juga
terjadi perlawanan rakyat terhadap Jepang, Sekutu, dan Belanda. Di Padang dan
Bukittinggi pertempuran berlangsung sejak bulan November 1945. Sementara itu
dalam waktu yang sama di Aceh terjadi pertempuran melawan Sekutu. Dalam
pertempuran ini Sekutu memanfaatkan pasukan-pasukan Jepang untuk menghadapi
perlawanan rakyat sehingga pecah pertempuran yang dikenal dengan peristiwa
Krueng Panjol Bireuen. Pertempuran di sekitar Langsa Kuala Simpang Aceh semakin
sengit ketika pihak rakyat dipimpin langsung oleh Residen Teuku Nyak Arif.
Dalam pertempuran ini pejuang kita berhasil mengusir Jepang. Dengan demikian di
seluruh Sumatera rakyat bersama pemerintah membela dan mempertahankan
kemerdekaan.
d.
Pertempuran Bandung Lautan Api
Pada tanggal 17 Oktober 1945 pasukan Sekutu mendarat di
Bandung. Pada waktu itu para pemuda dan pejuang di kota Bandung sedang
gencar-gencarnya merebut senjata dan kekuasaan dari tangan Jepang. Oleh Sekutu,
senjata dari hasil pelucutan tentara Jepang supaya diserahkan kepadanya. Bahkan
pada tanggal 21 November 1945, Sekutu mengeluarkan ultimatum agar kota Bandung
bagian utara dikosongkan oleh pihak Indonesia paling lambat tanggal 29 November
1945 dengan alasan untuk menjaga keamanan. Oleh para pejuang, ultimatum
tersebut tidak diindahkan sehingga sejak saat itu sering terjadi insiden dengan
pasukan-pasukan Sekutu.
Sekutu mengulangi ultimatumnya pada tanggal 24 Maret 1946
yakni agar TRI meninggalkan kota Bandung. Dengan adanya ultimatum ini,
pemerintah Republik Indonesia di Jakarta menginstruksikan agar TRI mengosongkan
kota Bandung, akan tetapi dari markas TRI di Yogyakarta menginstruksikan agar
kota Bandung tidak dikosongkan. Akhirnya, para pejuang Bandung meninggalkan
kota Bandung walaupun dengan berat hati. Sebelum meninggalkan kota Bandung
terlebih dahulu para pejuang Republik Indonesia menyerang ke arah
kedudukan-kedudukan Sekutu sambil membumihanguskan kota Bandung bagian Selatan.
Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Bandung Lautan Api.
e.
Pertempuran Lima Hari di Semarang.
Pada tanggal 15-20
Oktober 1945 di Semarang terjadi pertempuran hebat antara pejuang Indonesia
dengan tentara Jepang. Peristiwa ini diawali dengan adanya desas-desus bahwa
cadangan air minum di Candi, Semarang diracun oleh Jepang. Untuk membuktikan
kebenarannya, Dr. Karyadi, kepala laboratorium Pusat Rumah Sakit Rakyat
melakukan pemeriksaan. Pada saat melakukan pemeriksaan, ia ditembak oleh Jepang
sehingga gugur. Dengan gugurnya Dr. Karyadi kemarahan rakyat khususnya pemuda
tidak dapat dihindarkan dan terjadilah pertempuran yang menimbulkan banyak
korban jiwa. Untuk mengenang peristiwa itu, di Semarang didirikan Tugu Muda.
Untuk mengenang jasa Dr. Karyadi diabadikan menjadi nama sebuah Rumah Sakit
Umum di Semarang.
f.
Pertempuran Margarana di Bali
Munculnya puputan Margarana sendiri bermula dari Perundingan
Linggarjati. Pada tanggal 10 November 1946, Belanda melakukan perundingan
linggarjati dengan pemerintah Indonesia. Salah satu isi dari perundingan
Linggajati adalah Belanda mengakui secara de
facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera,
Jawa, dan Madura. Selanjutnya Belanda diharuskan sudah meninggalkan daerah de
facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
Pada tanggal 2 dan 3 Maret 1949 Belanda mendaratkan
pasukannya kurang lebih 2000 tentara di Bali yang diikuti oleh tokoh-tokoh yang
memihak Belanda. Tujuan dari pendaratan Belanda ke Bali sendiri adalah untuk
menegakkan berdirinya Negara Indonesia Timur. Pada waktu itu Letnan Kolonel I
Gusti Ngurah Rai yang menjabat sebagai Komandan Resiman Nusa Tenggara sedang
pergi ke Yogyakarta untuk mengadakan konsultasi dengan Markas tertinggi TRI,
sehingga dia tidak mengetahui tentang pendaratan Belanda tersebut.
Di saat pasukan Belanda sudah berhasil mendarat di Bali,
perkembangan politik di pusat Pemerintahan Republik Indonesia kurang
menguntungkan akibat perundingan Linggajati, di mana pulau Bali tidak diakui
sebagai bagian wilayah Republik Indonesia. Pada umumnya Rakyat Bali sendiri
merasa kecewa terhadap isi perundingan tersebut karena mereka merasa berhak
masuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Terlebih lagi ketika Belanda berusaha membujuk Letnan
Kolonel I Gusti Ngurah Rai untuk diajak membentuk Negara Indonesia Timur.
Untung saja ajakan tersebut ditolak dengan tegas oleh I Gusti Ngurah Rai,
bahkan dijawab dengan perlawanan bersenjata Pada tanggal 18 November 1946. Pada
saat itu I Gusti Ngurah Rai bersama pasukannya Ciung Wanara Berhasil memperoleh
kemenangan dalam penyerbuan ke tangsi NICA di Tabanan.
Karena geram, kemudian Belanda mengerahkan seluruh
kekuatannya di Bali dan Lombok untuk menghadapi perlawanan I Gusti Ngurah Rai
dan Rakyat Bali. Selain merasa geram terhadap kekalahan pada pertempuran
pertama, ternyata pasukan Belanda juga kesal karena adanya konsolidasi
dan pemusatan pasukan Ngurah Rai yang ditempatkan di Desa Adeng,
Kecamatan Marga, Tabanan, Bali. Setelah berhasil mengumpulkan pasukannya dari
Bali dan Lombok, kemudian Belanda berusaha mencari pusat kedudukan pasukan
Ciung Wanara.
Pada tanggal 20 November 1946 I Gusti Ngurah Rai dan
pasukannya (Ciung Wanara), melakukan longmarch ke Gunung Agung, ujung timur
Pulau Bali. Tetapi tiba-tiba di tengah perjalanan, pasukan ini dicegat oleh
serdadu Belanda di Desa Marga, Tabanan, Bali.
Tak pelak, pertempuran sengit pun tidak dapat diindahkan.
Sehingga sontak daerah Marga yang saat itu masih dikelilingi ladang jagung yang
tenang, berubah menjadi pertempuran yang menggemparkan dan mendebarkan bagi
warga sekitar. Bunyi letupan senjata tiba-tiba serentak mengepung ladang jagung
di daerah perbukitan yang terletak sekitar 40 kilometer dari Denpasar itu.
Pasukan pemuda Ciung Wanara yang saat itu masih belum siap dengan persenjataannya, tidak terlalu terburu-buru menyerang serdadu Belanda. Mereka masih berfokus dengan pertahanannya dan menunggu komando dari I Gusti Ngoerah Rai untuk membalas serangan. Begitu tembakan tanda menyerang diletuskan, puluhan pemuda menyeruak dari ladang jagung dan membalas sergapan tentara Indische Civil Administration (NICA) bentukan Belanda. Dengan senjata rampasan, akhirnya Ciung Wanara berhasil memukul mundur serdadu Belanda.
Pasukan pemuda Ciung Wanara yang saat itu masih belum siap dengan persenjataannya, tidak terlalu terburu-buru menyerang serdadu Belanda. Mereka masih berfokus dengan pertahanannya dan menunggu komando dari I Gusti Ngoerah Rai untuk membalas serangan. Begitu tembakan tanda menyerang diletuskan, puluhan pemuda menyeruak dari ladang jagung dan membalas sergapan tentara Indische Civil Administration (NICA) bentukan Belanda. Dengan senjata rampasan, akhirnya Ciung Wanara berhasil memukul mundur serdadu Belanda.
Namun ternyata pertempuran belum usai. Kali ini serdadu
Belanda yang sudah terpancing emosi berubah menjadi semakin brutal.
Kali ini, bukan hanya letupan senjata yang terdengar, namun NICA menggempur
pasukan muda I Gusti Ngoerah Rai ini dengan bom dari pesawat udara. Hamparan
sawah dan ladang jagung yang subur itu kini menjadi ladang pembantaian penuh
asap dan darah.
Perang sampai habis atau puputan inilah yang kemudian
mengakhiri hidup I Gusti Ngurah Rai. Peristiwa inilah yang kemudian dicatat
sebagai peristiwa Puputan Margarana. Malam itu pada 20 November 1946 di Marga adalah
sejarah penting tonggak perjuangan rakyat di Indonesia melawan kolonial Belanda
demi Nusa dan Bangsa
B.
PERJUANGAN DIPLOMASI (PERUNDINGAN)
a.
Perjanjian Linggarjati
Perjanjian Linggarjati dilakukan pada tanggal 10-15 November
1946 di Linggarjati, dekat Cirebon. Dalam Perjanjian ini, Indonesia diwakili
oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir dan tiga anngota lainnya yaitu,
Mohammad Roem, Susanto Tirtoprodjo, dan AK GANI , sedangkan Belanda diwakili
oleh Prof. Scermerhorn yang beranggotakan Max Van Poll, Fde Boer, dan H.J.Van
Mook. Perjanjian tersebut dipimpin oleh Lord Killearn, seorang diplomat
Inggris. Pada tanggal 7 Oktober 1946 Lord Killearn berhasil mempertemukan
wakil-wakil pemerintah Indonesia dan Belanda ke meja perundingan yang
berlangsung di rumah kediaman Konsul Jenderal Inggris di Jakarta. Dalam
perundingan ini masalah gencatan senjata yang tidak mencapai kesepakatan
akhirnya dibahas lebih lanjut oleh panitia yang dipimpin oleh Lord Killearn.
Hasil kesepakatan di bidang militer sebagai berikut:
1)
Gencatan senjata diadakan atas dasar kedudukan militer pada
waktu itu dan atas dasar kekuatan militer Sekutu serta Indonesia.
2)
Dibentuk sebuah Komisi bersama Gencatan Senjata untuk
masalah-masalah teknis pelaksanaan gencatan senjata
Sedangkan, Hasil Perundingan Linggajati ditandatangani pada
tanggal 25 Maret 1947 di Istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka) Jakarta,
yang isinya adalah sebagai berikut:
a)
Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia
dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura.
c)
Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk
Negara Indonesia Serikat dengan nama Republik Indonesia
Serikat
yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia.
d)
Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Belanda akan membentuk
Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
b.
Agresi Militer 1
Perjanjian
Linggarjati yang telah disepakati tanggal 25 Maret 1947 hanya berlangsung
sekitar 4 bulan. Karena Belanda melanggarnya dan mulai melancarkan serangan
serentak di beberapa daerah di Indonesia dengan nama “ Operatie Product”. Terjadi perbedaan penafsiran pada 21 Juli 1947, Belanda melakukan serangan
militer yang disebut sebagai Agresi
Militer Belanda I. TNI melawan
serangan agresi Belanda tersebut menggunakan taktik gerilya. TNI berhasil
membatasi gerakan Belanda hanya di kota-kota besar saja dan di jalan raya.
Untuk menyelesaikan masalah
Indonesia-Belanda, pihak PBB membentuk Komisi yang dikenal dengan nama Komisi
Tiga Negara (KTN). Tugas KTN adalah menghentikan sengketa RI-Belanda. Indonesia diwakili oleh Australia, Belanda
diwakili oleh Belgia, dan Amerika Serikat sebagai penengah. Adapun delegasinya
adalah sebagai berikut:
1)
Australia (tunjukkan Indonesia),
diwakili oleh Richard Kirby.
2)
Belgia (tunjukkan Belanda),
diwakili oleh Paul Van Zeland.
3)
Amerika Serikat (netral),
diwakili oleh Dr. Frank Graham.
c.
Perjanjian Renville
Atas usul KTN maka pada tanggal 8 Desember 1947 dilaksanakan
Perjanjian antara Indonesia dan Belanda di atas kapal Renville milik AS yang
sedang berlabuh di Jakarta.
1)
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr. Amir
Syarifuddin.
2)
Delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdul Kadir
Wijoyoatmojo.
3)
Delegasi Australia dipimpin oleh Richard C.
Kirby.
4)
Delegasi Belgia dipimpin oleh Paul van
Zeeland.
5)
Delegasi Amerika Serikat dipimpin oleh Frank
Porter Graham.
Setelah melalui perdebatan dan permusyawaratan dari tanggal
8 Desember 1947 sampai 17 Juni 1948 maka diperoleh persetujuan Renville. Isi
perjanjian Renville, antara lain sebagai berikut.
1) Belanda
tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai dengan terbentuknya
Republik Indonesia Serikat (RIS).
2) Sebelum
RIS dibentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada pemerintah
federal.
3) RIS
mempunyai kedudukan sejajar dengan
Negara Belanda dalam Uni Indonesia-Belanda.
4) Republik
Indonesia merupakan bagian dari RIS.
Kerugian-kerugian yang diderita
Indonesia dari perjanjian Renville adalah :
1) Indonesia terpaksa menyetujui
dibentuknya Negara Indonesia serikat melalui masa peralihan.
2) Indonesia kehilangan sebagian
daerahnya karena garis Van Mook terpaksa harus diakui sebagai daerah kekuasaan
Belanda.
3) Pihak republik harus menarik seluruh
pasukannya yang ada di daerah kekuasaan Belanda dan dari kantong-kantong
gerilya masuk daerah RI.
4) Wilayah RI menjadi semakin sempit dan
dikurung oleh daerah-daerah kekuasaan Belanda.
5) Terjadi Hijrah TNI ke pusat
pemerintahan di Yogyakarta.
6) Terjadinya pemberontakan DI/TII.
7) Terjadinya pemberontakan PKI di
Madiun 1948.
8) Jatuhnya kabinet Amir Syarifudin
diganti dengan Moh.Hatta.
d.
Agresi Militer II
Pada 18 Desember 1948,
Belanda di bawah pimpinan Dr. Bell
mengumumkan bahwa Belanda tidak terikat lagi oleh Persetujuan Renville.
Pada 19 Desember 1948 Belanda mengadakan Agresi Militer II ke ibu kota
Yogyakarta. Dalam agresi itu Belanda dapat menguasai Yogyakarta.
Presiden Sukarno dan Wakil
Presiden Mohammad Hatta ditawan dan diasingkan ke Pulau Bangka. Beliau lalu
mengirimkan mandat lewat radio kepada Mr. Syaffruddin Prawiranegara. Isinya
agar membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), di Bukit Tinggi
Sumatra Barat.
Pada 1 Maret 1949 Brigadir X
mengadakan serangan umum ke Yogyakarta.
Penyerangan ini dipimpin Letkol. Soeharto. Serangan ini memakai sandi
"Janur Kuning". Serangan ini dikenal juga dengan "Serangan Umum
1 Maret". Dalam penyerangan ini Tentara Republik Indonesia dalam serangan
ini berhasil menduduki Kota Yogyakarta selama 6 jam.
e.
Serangam Umum 1 Maret di Yogyakarta
Ketika Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua pada
bulan Desember 1948 ibu kota RI Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Presiden
Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta beserta sejumlah menteri ditawan oleh
Belanda. Belanda menyatakan bahwa RI telah runtuh. Namun di luar perhitungan
Belanda pada saat yang krisis ini terbentuklah Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI) di Buktitinggi, Sumatera Barat. Di samping itu Sri Sultan
Hamengkubuwono IX sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta tetap mendukung RI
sehingga masyarakat Yogyakarta juga memberikan dukungan kepada RI. Pimpinan TNI
di bawah Jenderal Sudirman yang sebelumnya telah menginstruksikan kepada semua
komandan TNI melalui surat Perintah Siasat No.1 bulan November 1948 isinya
antara lain:
1) Memberikan kebebasan kepada setiap
komandan untuk melakukan serangan terhadap posisi militer Belanda.
2) Memerintahkan kepada setiap komandan
untuk membentuk kantong-kantong pertahanan (wehrkreise.)
3) Memerintahkan agar semua kesatuan
TNI yang berasal dari daerah pendudukan untuk segera meninggalkan Yogyakarta
untuk kembali ke daerahnya masing-masing (seperti Devisi Siliwangi harus
kembali ke Jawa Barat), jika Belanda menyerang Yogyakarta.
Untuk pertahanan daerah Yogyakarta dan sekitarnya diserahkan
sepenuhnya kepada pasukan TNI setempat yakni Brigadir X di bawah Letkol Soeharto.
Dengan adanya agresi Militer Belanda maka dalam beberapa minggu kesatuan TNI
dan kekuatan bersenjata lainnya terpencar-pencar dan tidak terkoordinasi. Namun
para pejuang mampu melakukan komunikasi melalui jaringan radio, telegram maupun
para kurir. Bersamaan dengan upaya konsolidasi di bawah PDRI, TNI melakukan
serangan secara besar-besaran terhadap posisi Belanda di Yogyakarta. Serangan
ini dilakukan pada tanggal 1 Maret 1949 dipimpin oleh Letkol Soeharto. Sebelum
serangan dilakukan, terlebih dahulu meminta persetujuan kepada Sri Sultan
Hamengkubuwono IX sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
Serangan Umum ini dilakukan dengan mengkonsentrasikan
pasukan dari sektor Barat (Mayor Ventje Samual), Selatan dan Timur (Mayor
Sarjono) dan Sektor Kota (Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki). Serangan
umum ini membawa hasil yang memuaskan sebab para pejuang dapat menguasai kota
Yogyakarta selama 6 jam yakni jam 06.00 sampai jam 12.00. Berita Serangan Umum
ini disiarkan RRI yang sedang bergerilya di daerah Gunung Kidul, yang dapat
ditangkap RRI di Sumatera, selanjutnya dari Sumatera berita itu disiarkan ke
Yangoon dan India. Keesokan harinya peristiwa itu juga dilaporkan oleh R.
Sumardi ke PDRI di Buktitinggi melalui radiogram dan juga disampaikan pula
kepada Maramis. (diplomat RI di New Delhi, India) dan L.N. Palar (Diplomat RI
di New York, Amerika Serikat).
Serangan Umum 6 Jam di Yogyakarta ini mempunyai arti penting
yaitu sebagai berikut.
a. Ke dalam :
-
Meningkatkan semangat para pejuang RI, dan juga secara tidak
langsung memengaruhi sikap para pemimpin negara federal buatan Belanda yang tergabung dalam BFO.
langsung memengaruhi sikap para pemimpin negara federal buatan Belanda yang tergabung dalam BFO.
-
Mendukung perjuangan secara diplomasi, yakni Serangan Umum
ini berdampak adanya perubahan sikap pemerintah Amerika Serikat yang semula
mendukung Belanda selanjutnya menekan kepada pemerintah Belanda agar melakukan
perundingan dengan RI.
b. Ke luar:
-
Menunjukkan kepada dunia Internasional bahwa TNI mempunyai
kekuatan untuk melakukan serangan.
-
Mematahkan moral pasukan Belanda.
f.
Perjanjian Roem-Royen
Perjanjian ini merupakan perjanjian pendahuluan sebelum KMB.
Salah satu kesepakatan yang dicapai adalah Indonesia bersedia menghadiri KMB
yang akan dilaksanakan di Den Haag negeri Belanda. Untuk menghadapi KMB
dilaksanakan konferensi inter Indonesia yang bertujuan untuk mengadakan
pembicaraan antara badan permusyawaratan federal (BFO/Bijenkomst Voor Federal Overleg) dengan RI agar tercapai
kesepakatan mendasar dalam menghadapi KMB. Komisi PBB yang menangani Indonesia
digantikan UNCI. UNCI berhasil membawa Indonesia-Belanda ke meja Perjanjian
pada tanggal 7 Mei 1949 yang dikenal dengan persetujuan Belanda dari Indonesia
:
1) Menyetujui kembalinya pemerintah RI
ke Yogyakarta.
2) Menghentikan gerakan militer dan
membebaskan para tahanan republik.
3) Menyetujui kedaulatan RI sebagai
bagian dari Negara Indonesia Serikat.
4) Menyelenggarakan KMB segera sesudah
pemerintahan RI kembali ke Yogyakarta.
Persetujuan
Indonesia dari Belanda :
1) Mengeluarkan perintah untuk
menghentikan perang gerilya.
2) Bekerja sama dalam mengembalikan
perdamaian,mejaga ketertiban dan keamanan.
3) Ikut serta dalam KMB di Den Haag.
Peristiwa-peristiwa
penting realisasi Roem-Royen Statement:
1) Penarikan tentara Belanda secara
bertahap dari Yogyakarta dari 24 Juni sampai 29 Juni 1949.
2) Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta
tanggal 1 Juli 1949.
3) Presiden,wakil presiden dan para
pejabat tinggi Negara kembali ke Yogyakarta tanggal 6 Juli 1949.
4) Jendral Sudirman kembali ke
Yogyakarta tanggal 10 Juli 1949.
g.
Konferensi Meja Bundar
Konferensi Meja Bundar (KMB) merupakan tindak lanjut dari
Perundingan Roem-Royen. Sebelum KMB dilaksanakan, RI mengadakan pertemuan
dengan BFO (Badan Permusyawaratan Federal). Pertemuan ini dikenal dengan dengan
Konferensi Inter-Indonesia (KII) Tujuannya untuk menyamakan langkah dan sikap
sesama bangsa Indonesia dalam menghadapi KMB.
Konferensi Inter-Indonesia diadakan pada tanggal 19 - 22
Juli 1949 di Yogyakarta dan tanggal 31 Juli sampai 2 Agustus 1949 di Jakarta.
Pembicaraan difokuskan pada pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS).
Keputusan yang cukup penting adalah akan dilakukan pengakuan kedaulatan tanpa
ikatan politik dan ekonomi.
KMB merupakan langkah nyata dalam diplomasi untuk mencari
penyelesaian sengketa Indonesia – Belanda. Kegiatan KMB dilaksanakan di Den
Haag, Belanda tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949. Dalam KMB tersebut
dihadiri delegasi Indonesia, BFO, Belanda, dan perwakilan UNCI. Berikut ini
para delegasi yang hadir dalam KMB:
1)
Indonesia terdiri dari Drs. Moh. Hatta, Mr. Moh. Roem,
Prof.Dr. Mr. Soepomo
2)
BFO dipimpin Sultan Hamid II dari Pontianak.
3)
Belanda diwakili Mr. van Maarseveen.
4)
UNCI diwakili oleh Chritchley.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar