Sabtu, 13 Agustus 2016

ISLAMISASI DI SUKU BADUY

ISLAMISASI DI SUKU BADUY

//
            Komunitas Baduy dikenal sebagai komunitas yang taat kepada kepercayaannya. Akan tetapi faktanya, banyak juga di antara mereka yang melakukan pindah kepercayaan atau agama menjadi penganut agama Islam. Perpindahan agama ini bagi orang Baduy mengandung resiko yang sangat Barat. Mereka tidak hanya harus terusir dari kependudukan Baduy Dalam, melainkan juga tidak diakui sebagai penduduk Baduy Luar. Komunitas Baduy Muslim ini-lah yang kemudian dikenal sebagai Baduy Dangka. Keberadaan masyarakat kampung Baduy Dangka berdampingan dengan masyarakat luar Baduy. Bahkan dari segi berpakaian, antara masyarakat Dangka dengan masyarakat Luar Baduy sudah tidak terlihat lagi perbedaannya. Masyarakat Dangka kini sudah banyak yang beragama Islam, bahkan memakai jilbab layaknya umat Islam lainnya. Hanya dalam hal-hal tertentu mereka terkadang masih mengikuti aturan-aturan adat terutama ketika perayaan-perayaan tradisi Baduy yang dianggap sakral.
Kehidupan di Baduy Dangka secara adat memang sudah jauh lebih longgar dibandingkan dengan Baduy Panamping sendiri. Karena keberadaan masyarakat Dangka pada mulanya berasal dari perpindahan masyarakat Panamping. Hampir sama dengan masyarakat Panamping, keberadaan masyarakat Dangka berasal dari dua faktor; Pertama, karena keinginan sendiri untuk pindah dari Panamping menjadi masyarakat yang hidup lebih bebas. Kedua, karena faktor adanya pengusiran dari Panamping akibat melanggar adat. Meskipun begitu, warga Dangka masih diperbolehkan kembali menjadi warga Panamping setelah ia menjalani upacara penyucian dosa akibat melanggar ketentuan adat. 
            Dalam penelitian ini, objek yang akan dijadikan penelitian adalah wilayah kampung Cicakal Girang. Pemilihan tempat ini didasari oleh beberapa alasan; Pertama, sejak tahun 1975, atas kebijakan lembaga adat Baduy, warga Cicakal Girang yang kini sudah berjumlah 324 jiwa (158 laki-laki, 166 perempuan) tersebut bebas membangun rumahnya terbuat dari bahan semen, pasir dan batu/bata, memiliki lantai keramik, genting dan sebagainya yang tidak boleh terlalu mewah. Disana juga terdapat tanaman cengkeh, kerbau peliharaan, sawah, kolam ikan (yang kesemuanya merupakan pantangan adat Baduy). Kedua, di Cicakal Girang, alat penerangan pun sudah memanfaatkan listrik bertenaga surya.Cara berpakaian dan pola perilaku mereka juga jauh berbeda dengan warga Baduy. Ketiga, di kampung Cicakal Girang hampir seluruhnya sudah beragama Islam.
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah; 1). Apa makna agama bagi komunitas Baduy ? 2). Bagaimana persepsi orang Baduy terhadap mereka yang beragama di luar kepercayaan yang dianutnya ? 3). Bagaimana persepsi orang Baduy yang sudah beragama Islam memandang orang Baduy yang belum beragama Islam ? 4). Faktor-faktor apa sajakah yang melatarbelakangi orang Baduy pindah agama ?.
Untuk mencapai hasil penelitian yang sistematis dan maksimal, penelitian ini menggunakan beberapa metode analisa data; historis dan fenomenologis dan diuraikan secara deskriptif analitis. Pendekatan historis digunakan sebagai alat untuk dapat memahami sejarah komunitas muslim Baduy, proses prubahannnya. Sedangkan pendekatan fenomenologis digunakan untuk melihat berbagai fenomena dilapangan, baik itu pada prilaku, persepsi, perubahan persepsi yang terjadi pada masyarakat baduy atau mereka yang sudah menjadi Muslim
William James mengungkapkan faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya konversi agama antara lain : Pertama, Konversi agama terjadi karena adanya suatu tenaga jiwa yang menguasai pusat kebiasaan seseorang sehingga pada dirinya muncul persepsi baru, dalam bentuk suatu ide yang bersemi secara mantap. Kedua, Konversi agama dapat terjadi oleh karena suatu krisis ataupun secara mendadak (tanpa suatu proses). Ketiga, Konversi agama dapat terjadi oleh 2 faktor; intern dan faktor ekstern. Pertama, Faktor Intern; 1). Kepribadian. W. James menemukan bahwa, tipe melankolis yang memiliki kerentanan perasaan lebih mendalam dapat menyebabkan terjadinya konversi agama dalam dirinya; 2). Pembawaan. Ada semacam kecendrungan urutan kelahiran mempengaruhi konversi agama, ini dapat dilihat urutan kelahiran. Anak sulung dan anak bungsu biasanya tidak mengalami tekanan batin, sedangkan anak-anak yang dilahirkan pada urutan antara keduanya sering mengalami stres jiwa. Kondisi tersebut juga bisa mempengaruhi terjadinya konversi agama. Kedua, Faktor Ekstern; 1). Keluarga. Terjadinya ketidakserasian, keretakan keluarga, berlainan agama, kesepian, kesulitan seksual, tidak harmonisnya keluarga serta kurang mendapatkan pengakuan kaum kerabat kondisi tersebut bisa saja menyebabkan seseorang mengalami tekanan batin sehingga terjadi konversi agama dalam usahanya untuk mencari hal-hal baru dalam rangka meredakan tekanan batin yang menimpa dirinya; 2). Lingkungan. Seseorang yang tinggal di suatu tempat dan merasa tersingkir dari kehidupan di suatu tempat dan merasa hidup sebatang kara. Pada saat ini dia mendambakan ketenangan batin dan tempat untuk bergantung agar kegelisahan batinnya bisa hilang; 3). Perubahan Status. Perubahan yang terjadi dalam diri seseorang dapat menyebabkan terjadinya konversi agama. Apalagi perubahan itu terjadi secara mendadak. Seperti perceraian atau kawin dengan orang yang berlainan agama; 4). Kemiskinan. Masyarakat yang awam cenderung untuk memeluk agama yang menjanjikan kehidupan dunia yang lebih baik.
Menurut Jalaluddin setidaknya ada tiga faktor utama yang menyebabkan terjadinya konversi agama, yaitu : Pertama, Petunjuk Ilahi/hidayah. Adanya petunjuk dari yang Maha Kuasa terhadap seseorang sehingga individu menerima kondisi yang baru dengan penyerahan jiwa sepenuhnya. Kedua, Faktor sosial. Beberapa faktor sosial yang mempengaruhi terjadinya konversi agama antara lain : 1) Pergaulan yang bersifat keagamaan maupun nonagama (kesenian, ilmu pengetahuan); 2) Pengaruh kebiasaan-kebiasaan yang bersifat ritual, misalnya mengahdairi upacara keagamaan; 3) Pengaruh ajakan dan persuasi dari orang-orang yang dekat, misalnya keluarga, sahabat; 4) Pengaruh pemimpin agama; 5) Pengaruh komunitas atau perkumpulan sosial yang diikuti; 6) Pengaruh kekuasaan negara/ hukum: Penduduk suatu negara mempunyai kecenderungan untuk mengikuti agama yang menjadi agama negara. Ketiga, Faktor Psikologis. Adanya kebingungan, tekanan, dan perasaan putus asa yang menimbulkan kondisi yang tidak menyenangkan bagi individu sehingga mendorongnya untuk mencari perlindungan ke kekuatan lain yang dianggap mampu memberinya jawaban, ketenangan dan ketentraman jiwa.
Dilihat dari letak geografisnya, Baduy terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LU dan 108°3’9” – 106°4’55” BT[1] dan masuk dalam wilayah wilayah Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Banten merupakan salah satu wilayah yang yang cukup luas terutama areal perhutannya yakni Jumlah luas hutan sendiri sekitar 282,105, 64 ha. Luas hutan itu meliputi hutan lindung 8%, hutan produksi 27% dan hutan konservasi 65%. Provinsi yang pada awalnya merupakan pemekaran dari Provinsi Jawa Barat ini mempunyai kandungan alam terbilang cukup kaya.
Luas areal suku Baduy sekarang telah mengalami penyempitan seiring dengan adanya kebijakan pemerintah yang menjadikan sebagian areal hutan Baduy menjadi hutan produksi dengan ditanami pohon Sawit dan Karet. Dalam catatan yang ditulis oleh A.J. Spaan pada tahun 1867 dan B. Van Tricht tahun 1929 bahwa pada abad ke-18 wilayah Baduy terbentang mulai dari Kecamatan Leuwidamar sampai ke Pantai Selatan. Sedangkan dalam catatan Judhistira Garna, berdasarkan adanya kesamaan kepercayaan sunda lama dan adanya pertalian kerabat masyarakat, maka wilayah Baduy meliputi beberapa kecamatan yakni; Muncang, Sajira, Cimarga, Maja, Bojongmanik dan Leuwidamar. Terjadinya penyempitan wilayah Baduy pada fase kemudian disebabkan adanya kebijakan Sultan Banten dalam rangka penyebarluasan agama Islam.
Mengurai benang kusut terkait dengan sejarah Baduy memang cukup rumit. Kerumitan itu muncul karena ada beberapa versi yang masing-masing saling bertentangan. Berdasarkan hasil penelusuran, ditemukan beberapa versi yang berbeda, di antara versi tersebut;
a.    Perspektif Masyarakat Baduy
Penyebutan mereka dengan sebutan Orang Baduy atau Urang Baduy sebagaimana yang umum dilakukan oleh masyarakat luar atau peneliti sebenarnya tidak-lah mereka sukai. Mereka lebih senang menyebut dirinya sebagai Urang Kanekes, Urang Rawayan, atau lebih khusus dengan menyebut perkampungan asal mereka seperti; Urang Cibeo, Urang Cikartawana, Urang Tangtu, Urang Panamping.
Lalu pertanyaannya dari mana penyebutan istilah Baduy itu berasal?. Menurut Hoevell bahwa penyematan mereka dengan sebutan Baduy pertama kali dilakukan oleh orang-orang yang berada di luar Baduy yang sudah memeluk agama Islam. Penyebutan ini ditengarai sebagai sebutan ejekan terhadap mereka (Orang Baduy) berdasarkan beberapa alasan yakni kehidupan yang primitif, nomaden, ketergantungan pada alam, membuat mereka di samakan dengan kehidupan masyarakat Badui, Badawi atau Bedouin yang ada di daerah Arab.[2]Dengan alasan ini-lah kemudian istilah Baduy pun di bakukan dan lebih dikenal dibandingkan dengan istilah suku atau orang Kanekes itu sendiri. Begitu populernya istilah ini (Baduy) bagi masyarakat di luar Baduy membuat beberapa masyarakat di luar Baduy memberikan nama-nama kandungan alam dengan Istilah Baduy, seperti penyebutan Gunung yang ada diwilayah Baduy dengan sebutan Gunung Baduy, dikenal juga Sungai Baduy. Bahkan menurut Pleyte, kata ”Baduy” sendiri mempunyai ciri yang khas sebagai kata dalam bahasa sunda seperti; tuluy, aduy, uruy.  Dalam sumber yang lain, penyebutan mereka dengan istilah Baduy, pertama kali disebutkan oleh orang Belanda ketika melakukan penjajahan di Indonesia. Orang Belanda biasa menyebut mereka dengan sebutan  badoe’i, badoej, badoewi, Urang Kanekes dan Urang Rawayan.
            Penyebutan istilah di atas didasari oleh beberapa alasan; Pertama, istilah Baduy muncul karena berasal dari nama sebuah gunung Baduy yang kini menjadi tempat huniannya. Alasan ini kemudian ditolak karena penyebutan gunung menjadi gunung Baduy muncul setelah mereka membuka areal perhutanan tersebut untuk dijadikan pemukiman. Kedua, istilah Baduy berasal dari kata Budha yang kemudian berubah menjadi Baduy. Ketiga, Ada juga yang mengatakan bahwa istilah Baduy berasal dari kata “Baduyut” kerena di tempat ini-lah banyak ditumbuhi pepohonan baduyut, sejenis beringin. Keempat, pendapat yang lain juga muncul bahwa penyebutan Baduy di ambil dari bahasa Arab Badui yang berarti berasal dari kata Badu atau Badawu yang artinya lautan pasir. Alasan ini menurut saya kurang tepat. Penyamaan istilah Baduy dengan keberadaan suku yang ada di Arab bukanlah berdasarkan kesamaan definisi istilah, akan tetapi berdasarkan kesamaan pola hidup yakni berpindah-pindah (nomaden) dari satu tempat ke tempat yang lain mengikuti keberadaan tempat persediaan kebutuhan hidup dalam hal ini keberadaan pangan. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa kokolot adat (tokoh adat) dan masyarakat Baduy, terkait dengan sejarah asal usul masyarakat suku Baduy, mereka meyakini bahwa asal masyarakat Baduy berasal dari keturunan Batara Cikal yang merupakan salah satu dari tujuh Dewa atau Batara yang diutus untuk datang dan memelihara bumi. Yang menarik dari kepercayaan masyarakat Baduy ketika penelitian ini dilakukan adalah adanya kepercayaan bahwa asal usul-nya terkait atau berhubungan dengan Nabi Adam yang diyakini oleh mereka sebagai nenek moyang pertama.
b.       Perspektif Ahli Sejarah
Berbeda dengan kepercayaan masyarakat Baduy tentang sejarah asal-usul mereka. Para ahli sejarah mempunyai pandangan yang ternyata juga berbeda versi prihal sejarah awal Baduy. Versi pertama menyatakan bahwa sejarah awal keberadaan masyarakat Baduy berasal dari Kerajaan Padjajaran sebagaimana tertera dalam catatan pertama tahun 1822 mengenai suku Baduy yang ditulis oleh ahli botani bernama C.L. Blumen. Menurut sejarah, pada sekitar abad ke-12 dan ke-13 M, kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah Pasundan meliputi Banten, Bogor, Priangan sampai ke wilayah Cirebon. Saat itu kerajaan Padjajaran dikuasai oleh Raja bernama Prabu Bramaiya Maisatandraman atau yang lebih dikenal dengan gelar Prabu Siliwangi. Ketika terjadi pertempuran sekitar abad ke-17 M antara kerajaan Banten melawan kerajaan Sunda, kerajaan Sunda yang saat itu dipimpin oleh Prabu Pucuk Umun (keturunan Prabu Siliwangi) mengalami kekalahan yang cukup telak. Karena itu-lah Sang Parbu Pucuk Umun dengan beberapa punggawanya melarikan diri ke daerah hutan pedalaman. Dari sini-lah kemudian mereka hidup menetap dan berkembangbiak menjadi komunitas yang kemudian kini disebut sebagai suku Baduy. Pendapat ini jika kita bandingkan dengan beberapa bait pantun yang kerap dinyayikan oleh masyarakat Baduy ketika hendak melakukan upacara ritual, nampaknya mempunyai nilai pembenarannya. Pantun tersebut berbunyi:
“Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguhnu diteang, malipir dina gawir, nyalindung dina gunung, mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan perang jeung paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sa wangatua”
Artinya : jauh tidak menentu yang tuju (Jugjug), berjalan tanpa ada tujuan, berjalan ditepi tebing, berlindung dibalik gunung, lebih baik malu dan hina dari pada harus berperang dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan
Keturunan ini-lah yang sekarang bertempat tinggal di kampung Cibeo (Baduy Tangtu) dengan ciri-ciri; berbaju putih hasil jaitan tangan (baju sangsang), ikat kepala putih, memakai sarung biru tua  (tenunan sendiri) sampai di atas lutut, dan sifat penampilannya jarang bicara (seperlunya) tapi ramah, kuat terhadap hukum adat, tidak mudah terpengaruh, berpendirian kuat tapi bijaksana.
Versi kedua, berbeda dengan pendapat pertama di atas, pendapat kedua ini muncul dari Van Tricht yang merupakan seorang dokter yang pernah melakukan riset di Baduy pada tahun 1928. Menurutnya, komunitas Baduy bukanlah berasal dari sisa-sia kerajaan Padjajaran yang melarikan diri, melainkan penduduk asli dari daerah tersebut yang mempunyai daya tolak yang kuat terhadap pengaruh luar. Pendapat Van Tricht ini hampir sama dengan pendapat yang diyakini oleh masyarakat Baduy sendiri yang mengatakan bahwa mereka adalah masyarakat terpilih yang diberikan tugas oleh raja untuk melakukan mandala (kawasan yang suci) di daerah kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang) Jati Sunda atau Sunda Asli atau Sunda Wiwitan, yang kini di diami oleh masyarakat Baduy.
Versi ketiga, jika kita coba komparasikan antara keyakinan sejarah masyarakat Baduy dengan penemuan para ahli sejarah (arkeolog, budayawan, dan sejarawan) terlihat perbedaan yang kontras bahkan bertolak belakang. Menurut catatan sejarah, berdasarkan proses sintesis dari penemuan prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai Tatar Sunda, keberadaan masyarakat suku Baduy sendiri dikaitkan dengan keberadaan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang).
Menurut catatan para ahli sejarah, sebelum berdirinya Kesultanan Banten oleh Sultan Maulana Hasanuddin yang berada di wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan salah satu bagian terpenting dari Kerajaan Sunda. Wilayah Banten pada saat itu adalah merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar yakni Pelabuhan Karangantu. Sungai Ciujung yang berhulu di areal wilayah Baduy dan melewati Kabupaten Lebak dan Serang dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan sangat ramai digunakan sebagai alat transportasi untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman Banten. Melihat kondisi ini, penguasa wilayah tersebut (Banten Selatan) yakni Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Dengan alasan itu-lah, maka kemudian ia memerintahkan pasukan khusus kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola areal kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut membuat mereka harus menetap dengan waktu yang cukup lama. Dengan alasan ini, maka para ahli sejarah menetapkan bahwa asal mula masyarakat suku Baduy yang sampai sekarang eksis masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut berasal. Adanya perpedaan pendapat tersebut membuat sebagian pengamat suku Baduy menduga bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, sebagai alasan untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Padjajaran dan Banten.
Ketiga pendapat ini memang sulit untuk dipadukan karena masing-masing (masyarakat Baduy dan ahli sejarah) mempunyai alasan tersendiri—yang satu sama lainnya menganggap benar. Karena itu, langkah yang bijak adalah membiarkan perbedaan pendapat itu sebagai sebuah realita sejarah yang menarik dan unik.




KLASIFIKASI KOMUNITAS SUKU BADUY
a.    Baduy Tangtu
Pemukiman Baduy Tangtu (Baduy Dalam) atau bagi masyarakat Baduy sendiri biasanya menyebutnya dengan sebutan Urang Tangtu, Urang Girang atau Urang Kejeroan yang berada di bagian selatan. Masyarakat Baduy Tangtu dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan nama kampung tempat tinggalnya, yaitu Kampung Cibeo atau Tangtu Parahiyangan, Kampung Cikeusik atau Tangtu Pada Ageung dan Kampung Cikartawana atau Tangtu Kadu Kujang. Keseluruhan wilayah kampung Baduy Tangtu ini disebut dengan Telu Tangtu (Tiga Tangtu). Jumlah penduduk masyarakat Baduy Tangtu kini diperkirakan berjumlah 800 orang. Penyebutan Baduy Tangtu atau Baduy Dalam secara bahasa di ambil dari bahasa Sansekerta. Kata “tangtu” merupakan kata benda yang bermakna; benang, silsilah, cikal bakal. Dalam Kamus Bahasa Sunda Kuno, istilah “tangtu” berarti tempat atau kata sifat; pasti. Menurut kepercayaan masyarakat Baduy sendiri, istilah “tangtu” bermakna  sebagai tempat dan sekaligus pendahulu atau cikal bakal—baik dalam arti pangkal keturunan maupun pendiri pemukiman. Penyebutan istilah “telu tangtu” ternyata sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Sunda. Dalam Kropak 360 disebutkan adanya “tri tangtu” yang dijadikan sebagai peneguh dunia dan dilambangkan dengan raja sebagai sumber wibawa, rama sebagai sumber ucapan yang benar, dan resi sebagai sumber tekad yang baik. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dunia bimbingan di bawah sang rama, dunia kesejahteraan berada di tangan sang resi, dan dunia pertahanan di bawah kendali sang raja. Di setiap tangtu yang ada di Baduy Tangtu dipimpin oleh seorang Puun yang tugasnya mengurusi masalah kerohanian bukan keduniawian. Meskipun begitu, para Puun yang ada diwilayah Baduy Tangtu mempunyai wewenang yang lebih spesifik yakni Puun Tangtu Cibeo sebagai Sang Prabu, Puun Tangtu Cikeusik sebagai Sang Rama, dan puun Tangtu Cikartawana sebagai Sang Resi.
b.   Baduy Panamping
Baduy Panamping atau juga disebut dengan Baduy Luar secara kuantitas penduduk merupakan kelompok terbesar. Baduy Luar atau mereka menyebutnya dengan sebutan Urang Panamping atau Urang Kaluaran menghuni areal sebelah utara Baduy. Saat ini, masyarakat Baduy Luar tersebar di 26 kampung yakni Kampung Kaduketug, Cihulu, Sorokokod, Cigula, Karahkal, Gajeboh, Kaduketer, Cibongkok, Cicatang, Cicakal Muara, Cikopeng, Cicakal Girang, Cipaler, Cipiit, Cisagu, Babakan Ciranji, Cikadu, Cipeucang, Cijanar, Batubeulah, Cipokol, Pamoean, Kadukohak, Cisaban, dan Batara. Di setiap kampung yang ada di Baduy Panamping ini dimpimpin oleh seorang kokolot lembur (sesepuh kampung). Menurut Edi S Ekadjati, pada awalnya jumlah suku Baduy panamping memiliki 30 kampung dan ditambah 3 kampung yang ada di Baduy Dalam. Karena itu dalam istilah Baduy ada yang dinamakan Nusa Telupuluhtelu ( Nusa 33).
Keberadaan penduduk Penamping menurut sejarahnya ada yang secara turun temurun menetap di situ, ada juga masyarakat pendatang atau pindahan dari wilayah Baduy Tangtu. Adanya migrasi ini disebabkan dua faktor; pertama, pindah atas kemauan sendiri disebabkan sudah tidak sanggup lagi hidup dilingkungan masyarakat Tangtu. Perpindahan model ini bagi masyarakat Baduy disebut dengan undur rahayu (pindah secara baik-baik). Kedua, pindah karena diusir dari wilayah Tangtu sebab telah melanggar adat. Meskipun begitu, antara warga Tangtu dan Panamping secara hubungan kekerabatan mereka tidak terputus  walaupun berbeda status kewargaannya. Mereka tetap sesekali melakukan kunjungan satu sama lainnya demi membina keutuhan hubungan kekeluargaan.


c.    Baduy Dangka
Keberadaan masyarakat kampung Dangka berdampingan dengan masyarakat luar Baduy. Bahkan dari segi berpakaian, antara masyarakat Dangka dengan masyarakat Luar Baduy sudah tidak terlihat lagi perbedaannya. Masyarakat Dangka pun kini sudah banyak yang beragama Islam, bahkan memakai jilbab layaknya umat Islam lainnya. Hanya dalam hal-hal tertentu mereka terkadang masih mengikuti aturan-aturan adat terutama ketika perayaan-perayaan tradisi Baduy yang dianggap sakral.
Kehidupan di Baduy Dangka secara adat memang sudah jauh lebih longgar dibandingkan dengan Baduy Panamping sendiri. Karena keberadaan masyarakat Dangka pada mulanya berasal dari perpindahan masyarakat Panamping. Hampir sama dengan masyarakat Panamping, keberadaan masyarakat Dangka berasal dari dua faktor; Pertama, karena keinginan sendiri untuk pindah dari Panamping menjadi masyarakat yang hidup lebih bebas. Kedua, karena faktor adanya pengusiran dari Panamping akibat melanggar adat. Meskipun begitu, warga Dangka masih diperbolehkan kembali menjadi warga Panamping setelah ia menjalani upacara penyucian dosa akibat melanggar ketentuan adat. Meskipun masyarakat Baduy secara tingkatan kewargaan terbagi atas tiga lapisan; Tangtu, Panamping dan Dangka. Akan tetapi status hubungan kekerabatan atau kekeluargaan satu sama lainnya tidak terputus. Orang Tangtu masih menganggap keluarga kepada anggota keluargannya meskipun mereka ada diwilayah Panamping atau Dangka sekalipun, begitu sebaliknya. Prinsip hidup seperti ini-lah yang membuat keutuhan masyarakat Baduy sampai saat ini masih terjaga dengan baik. Akan tetapi, perbedaan kewarganegaraan akan berpengaruh hanya dalam hal-hal tertentu seperti pernikahan, pengangkatan jabatan  struktur pemerintahan.

TEMUAN DAN ANALISA DATA
a. Sunda Wiwitan dan Makna Agama Bagi Orang Baduy
            Ketika untuk pertama kali menginjakan kaki di wilayah Baduy. Kesan pertama yang dirasakan adalah bahwa Baduy adalah sebuah masyarakat yang memperaktekkan inti semua ajaran agama (Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, atau agama apa pun) yaitu mencintai sesama makhluk (manusia dan alam) dan Sang Pencipta. Tetapi kenapa masyarakat luar Baduy memberikan identitas pada mereka sebagai masyarakat penganut agama sunda wiwitan?. Lalu dari mana penamaan agama itu muncul ?. ini-lah yang akan menjadi fokus kajian pada bagian ini.
Nama Sunda Wiwitan yang berarti “sunda mula-mula adalah merupakan penyebutan untuk nama identitas agama orang Baduy. Penamaan ini muncul untuk menggambarkan bagaimana keyakinan itu adalah yang paling awal dari masyarakat Sunda. Dalam literatur Sunda kuno, Sunda Wiwitan merupakan perubahan nama dari agama yang dianut oleh Wangsa Pajajaran. Jika dilihat dari sejarahnya, penamaan agama Baduy menjadi sunda wiwitan bermula pada ritual pemujaan mereka yang disimbolkan dengan Arca Domas sebagai leluhur mereka. Menurut mereka, dasar religi masyarakat Baduy dalam ajaran Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang bersifat monoteis, penghormatan kepada roh nenek moyang, dan kepercayaan kepada satu kekuasaan yakni Sanghyang Keresa (Yang Maha Kuasa) yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Maha Gaib) yang bersemayam di Buana Nyungcung (Buana Atas). Orientasi, konsep, dan pengamalan keagamaan ditujukan kepada pikukuh untuk mensejahterakan kehidupan di jagat mahpar (dunia ramai). Adanya kekuasaan tertinggi itu sampai saat ini masyarakat suku Baduy mempercayai bahwa arwah nenek moyang jika dirawat akan memberikan kekuatan baik lahir maupun batin kepada keturunannya. Karena alasan itu-lah, orang Baduy sampai saat ini begitu menganggap sakral pemujaan kepada nenek moyangnya atau mereka menyebutnya para karuhun.
Bagi masyarakat Baduy, mereka meyakini bahwa Orang Baduy berasal dari khirarki tua, sedangkan dunia yang berada di luar Baduy berasal dari turunannya. Karena alasan itu-lah maka orang Baduy meyakini bahwa Nabi Adam sebagai manusia yang pertama di bumi berasal dari Baduy. Kepercayaan khirarki tua atau pertama ini membuat mereka merasa bertanggungjawab atas keutuhan alam dan kelangsungan hidup manusia di muka bumi ini. Karena itu, Orang Baduy harus selalu melakukan tapa agar keberadaan bumi ini selalu terjaga. Seluruh keyakinan itu mereka namakan dengan sebutan ”Agama Slam Sunda Wiwitan”. Dalam kepercayaan Orang Baduy, Agama Slam Sunda Wiwitan merupakan agama khusus  yang diperuntukkan untuk komunitas Baduy dan tidak disebarkan kepada masyarakat luar Baduy. Jika dilihat secara sederhana, kepercayaan Orang Baduy tersebut cukup dekat dengan Islam. Bahkan penyebutan kata ”Slam” hampir mirip dengan kata ”Islam”. Kesamaan lainnya juga terlihat dari kepercayaan Orang Baduy yang hanya mempercayai satu Tuhan yang mereka sebut Gusti nu Maha Agung, Gusti nu Maha Suci atau Sang Hyang Tunggal, namun dalam hal kenabian mereka hanya percaya kepada Nabi Adam. Menurut salah seorang tokoh adat Baduy mengatakan bahwa "Nabi Adam adalah junjungan orang Baduy, kami berasal dari Adam,"   
Terkait dengan posisi Nabi Muhammad Saw yang depercayai oleh umat Islam sebagai Nabi dan panutan tertinggi, justru Orang Baduy pun sebenarnya mengakui kenabian Muhammad, akan tetapi mereka menempatkan posisi Nabi Muhammad dalam  posisi sebagai saudara Nabi Adam. Bahkan entah dari mana sumbernya, sampai saat ini Orang Baduy percaya bahwa Nabi Muhammad adalah adik Nabi Adam. Faktor lain yang menunjukan kedekatan ajaran Baduy dengan Islam, adanya buyut atau pantangan minum arak (khmar) dan memakan anjing. Dalam kepercayaan Agama Slam Sunda Wiwitan tidak dikenal adanya perintah sholat sebagaimana yang diwajibkan oleh agama Islam. Orang Baduy pun tidak memiliki kitab suci layaknya agama-agama lain. Bagi masyarakat Baduy, pengenalan dan pemahaman Agama Slam Sunda Wiwitan cukup dikenalkan hanya dengan lisan, penuturan, dan percontohan.
Inti kepercayaan tersebut dapat ditunjukkan dengan adanya kepercayaan akan pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang disampaikan para leluhurnya untuk selalu dianut dan dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Baduy. Warisan pikukuh nenek moyang ini-lah yang dijadikan ”sabda suci” dan panutan hidup orang Baduy sampai kini. Isi terpenting dari konsep pikukuh (kepatuhan) masyarakat Baduy adalah konsep ketentuan "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin. Hal ini bisa dilihat dari ajaran pikukuh:
“buyut nu dititipkeun ka puun
nagara satelung puluh telu
bangsawan sawidak lima
pancer salawe nagara
gunung teu meunang dilebur
lebak teu meunang dirusak
larangan teu meunang dirempak
buyut teu meunang dirobah
lojor teu meunang dipotong
pendek teu meunang disambung
nu lain kudu dilainkeun
nu ulah kudu diulahkeun
nu enya kudu dienyakeun
Artinya:
“buyut yang dititipkan kepada puun
negara tigapuluhtiga
sungai enampuluhlima
pusat duapuluhlima Negara
gunung tidak bolehdihancurkan
lembah tidak boleh dirusak
larangan tidak boleh dilanggar
buyut tidak boleh diubah
panjang tidak boleh dipotong
pendek tidak boleh disambung
yang bukan harus ditiadakan
yang lain harus dilainkan
yang benar harus dibenarkan”
Kesakralan nilai ajaran yang dimiliki oleh agama Orang Baduy membuat mereka secara berhati-hati dan patuh dalam menjalankan berbagai pikukuh adat dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sebagaimana dituturkan oleh salah seorang pemangku adat Baduy bernama Ayah Mursid. Menurutnya;
“Agama nu diagem ku masyarakat Baduy ngarana Agama Slam Sunda Wiwitan, nabina Adam Tunggal. Dina keyakinan Sunda Wiwitan kami mah teu kabagean parentah shalat seperti dulur-dulur sabab wiwitan Adam tugasna memelihara keseimbangan ieu alam, teu ngabogaan kitabna da ajarana neurap jeung alam. Makana agama Slam Sunda Wiwitan ngan ukur keur urang Baduy”.
Kedekatan agama Orang Baduy dengan Islam semakin terasa dan terlihat dari syahadat yang mereka gunakan. Dalam kepercayaan adat Baduy, ada dua macam jenis sahadat; syahadat Baduy Dalam dan Syahadat Baduy Luar.
Syahadat Baduy Dalam;

“asyhadu syahadat Sunda
(asyhadu syahadat Sunda
jaman Allah ngan sorangan
Allah hanya satu
kaduanana Gusti Rosul
kedua para Rasul
ka tilu Nabi Muhammad
ketiga Nabi Muhammad
ka opat umat Muhammad
keempat umat Muhammad
nu cicing di bumi angaricing
yang tinggal di dunia ramai
nu calik di alam keueung”.
yang duduk di alam takut
ngacacang di alam mokaha
menjelajah di alam nafsu
salamet umat Muhammad”
selamat umat Muhammad

Syahadat Baduy Luar;

“asyhadu Alla ilaha illalah
(Asyhadu Alla ilaha illalah
wa asyhadu anna Muhammad da Rasulullah
wa asyhadu anna Muhammad da Rasulullah
isun netepkeun ku ati
aku menetapkan dalam hati
yen taya deui Allah di dunya ieu
bahwa tiada lagi Tuhan di dunia ini
iwal ti Pangeran Gusti Allah
selain Pangeran Gusti Allah
jeung taya deui iwal ti Nabi Muhammad utusan Allah”.
dan tiada lagi selain Nabi Muhammad utusan Allah)

Dalam penggunaannya, syahadat Baduy Dalam atau disebut juga syahadat sunda wiwitan disampaikan kepada Puun sebagai ungkapan janji ikrar akan kesetiaan kepada aturan adat Baduy. Atau sebagaimana umat Islam ketika mereka berikrar memeluk agama Islam. Sedangkan syahadat Baduy luar digunakan oleh Orang Baduy ketika mereka hendak melangsungkan pernikahan menurut tata cara Islam.
Jika diperhatikan redaksi kedua syahadat di atas, jelas terlihat bahwa Orang Baduy sendiri mengakui Allah sebagai Tuhan mereka. Lalu mengapa tata cara ibadah Orang Baduy berbeda dengan umat Islam pada umumnya?. Menurut penganut agama sunda wiwitan, dikatakan bahwa “kami mah ngan kabagean syahadatna wungkul, hente kabagean sholat”. Artinya bahwa mereka hanya memperoleh syahadatnya saja, sedangkan rukun-rukun Islam lainnya  termasuk didalamnya berbagai jenis ibadah ritual dalam agama Islam tidak pernah diperoleh.[3][28] Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa agama Sunda Wiwitan merupakan agama sinkretisme Islam dan Hindu yang dianut oleh masyarakat Baduy. Keimanannya kepada Allah hanya terlihat di dalam pengucapan kalimat syahadat, namun mereka melakukan praktik ritual keagamaan dengan berpedoman pada pikukuh, aturan adat sendiri yang mirip dengan tradisi agama Hindu yaitu melakukan pemujaan terhadap para dewa-dewa dan para leluhur di tempat suci bernama Sasaka Domas.

DANGKA; KAMPUNG MUSLIM BADUY
Di antara kampung Baduy yang masuk wilayah Dangka adalah kampung Cicakal Girang. Secara letak geografis, Cicakal Girang berada di ujung barat Desa Kanekes yang berbatasan langsung dengan Desa Keboncau Kecamatan Bojong Manik. Seiring dengan perkembangannya, Cicakal Girang kini sudah berkembang menjadi dua kampung baru yang setiap kampungnya sudah memiliki musholla sebagai sarana ibadah.
Berdasarkan sejarah kemunculan, komunitas Baduy Muslim Cicakal Girang, ada beberapa versi sejarah yang berbeda-beda. Menurut penuturan lisan yang dikemukakan oleh salah seorang warga Baduy Muslim bernama Ustd. Abdul Rasyid (Tokoh Muslim Cicakal Girang) mengatakan bahwa sejarah berdirinya Cicakal Girang diakibatkan oleh jauhnya jarak yang harus ditempuh oleh Orang Baduy yang akan melakukan pencatatan pernikahan. Karena alasan itu-lah, maka kemudian lembaga adat Baduy mengajukan permohonan kepada Sultan Banten untuk menempatkan seorang warganya yang Muslim untuk ditugaskan diwilayah Kanekes. Permintaan lembaga adat tersebut kemudian direspon oleh pihak Kesultanan Banten, maka dikirimlah satu keluarga muslim untuk membantu lembaga adat Baduy dalam mengurusi administrasi pernikahan warga Baduy serta membantu merawat jenazah warga Baduy yang meninggal dunia. Mengenai kapan hal itu terjadi, sampai saat ini belum ditemukan data yang jelas. Adapaun mengenaik orang yang pertama kali ditugaskan oleh Sultan, menurut serita warga Baduy adalah bernama Ki Sahum. Dalam versi yang lain diceritakan bahwa keberadaan Kampung Cicakal Girang menurut sejarahnya merupakan areal perkampungan yang sudah dipersiapkan sejak awal oleh orang Baduy sebagai tempat bermukimnya warga Baduy yang sudah melanggar ketentuan adat Baduy. Keberadaan kampung ini juga bisa dijadikan sebagai pembuktian dan bantahan pandangan masyarakat luar Baduy yang beranggapan bahwa Baduy sangat kaku, menutup diri, tidak bisa menerima adanya perubahan dan sulit untuk diajak kerjasama. Dengan adanya komunitas Baduy Cicakal Girang yang kehidupannya sama dengan masyarakat luar Baduy, membuktikan bahwa Baduy sama dengan masyarakat-masyarakat lainnya.
Saat saya untuk pertama kali berkunjung ke wilayah Cicakal Girang, maka saya menyimpulkan bahwa heterogenitas yang biasanya tidak terlihat pada komunitas Baduy Dalam,  di Cicakal Girang-lah terasa suasana yang berbeda. Pola kehidupan masyarakat Cicakal Girang sangat heterogen, karena itu mereka tidak jauh berbeda dengan komunitas masyarakat di luar Baduy, baik itu dari cara berpakaian, sampai ke masalah keyakinan. Di kampung Cicakal Girang-lah berbagai fenomena yang biasanya tabu dan dilarang bagi komunitas Baduy bermunculan. Di Cicakal Girang saat ini sudah berdiri sekolah formal Madrasah Ibtidaiyah Masyarikul Huda, Masjid, perumahan yang sudah permanen, cara berpakaian yang sudah tidak lagi terikat dengan aturan adat Baduy. Meskipun jelas sekali perbedaannya dengan karakterisatik masyarakat Baduy Dalam, akan tetapi kampung Cicakal Girang dijadikan oleh Orang Baduy sebagai kampung khusus yang direstui perbedaannya oleh tokoh-tokoh adat Baduy. Ada sekitar 11.000 jiwa lebih penghuni kampung Cicakal Girang. Meskipun penduduk Baduy Cicakal Girang sudah banyak berbeda dengan komunitas Baduy pedalaman, akan tetapi, pola hidup mereka masih tetap sederhana. Kehidupan yang selalu dekat dengan alam masih tetap melekat dalam pola berfikir dan kehidupan mereka. Meskipun sampai saat ini sudah banyak kita jumpai rumah-rumah Orang Baduy yang sudah permanen, akan tetapi tak sedikit juga dapat kita jumpai tipe rumah yang masih sederhana. Rumah yang hanya berupa gubuk (anyaman bambu) beratap daun kirai (rumbia) ditambah injuk masih menjadi pemandangan yang khas di kampung Cicakal Girang. Pakaian yang khas dan amat sederhana, seperti berbaju komprang tak berkerah yang dipadukan celana pendek atau kain sarung sebatas dengkul ditambah ikat kepala, masih menjadi pakaian yang sering dipakai oleh laki-laki Baduy Cicakal Girang.
Jika dilihat dari kehidupannnya, masyarakat Baduy Cicakal Girang sudah lebih modern dibandingkan masyarakat Baduy pedalaman. Meskipun begitu, sampai saat ini, orang luar Baduy masih menganggap mereka sebagai masyarakat yang masih kolot dan tertinggal. Bahkan, tak sedikit orang luar Baduy mengklaim mereka sebagai masyarakat yang bodoh dan tidak beradab. Penilaian yang berbeda justru datang dari seorang juru dakwah di kampung Cicakal Girang bernama H. Hassan Alaydrus. Ia justru memandang Orang Baduy sebagai masyarakat yang cerdas dan selalu berpikir penuh siasat. Sifat beradab yang dimiliki oleh Orang Baduy menurutnya karena mereka adalah keturunan raja dan punggawa kerajaan zaman dulu, yang sifat dan tradisi politiknya terwariskan sampai sekarang. Masyarakat kampung Cicakal Girang kini sudah banyak yang menganut agama Islam. Secara bertahap masyarakat mulai mengenal Islam dan kemudian secara resmi memeluk agama Islam dan meninggalkan keyakinan mereka. Bahkan, kini di Desa ini sudah berdiri sebuah pondok pesantren sebagai tempat para anak-anak Baduy Muslim belajar agama. Mereka biasa disebut Baduy Pemukiman atau Baduy Muslim.
Menurut Jaro Desa Kanekes yakni Jaro Daenah, saat ini, ada sekitar 4.000 masyarakat Baduy Pemukiman yang keseluruhannya tinggal di 13 kampung yang berada di luar Desa Kanekes. Menurut Jaro Daenah, mereka sebetulnya enggan menyebut dirinya sebagai orang Baduy. Sebab, kehidupan mereka tak ubahnya seperti masyarakat di luar Baduy. Meskipun begitu, keberadaan komunitas Baduy Pemukiman adalah tetap merupakan bagian dari masyarakat Baduy Luar. Hanya saja selama ini, mereka dianggap tak sanggup menjaga kesucian wilayah Baduy Dalam. Mereka tetap berpakaian warna hitam, memperlihatkan ketidaksucian. Namun begitu, sebagai masyarakat yang masih memakai identitas Baduy, mereka tetap harus taat pada fatwa para Puun. Hanya pantangan yang mereka yakini berlaku lebih ringan ketimbang masyarakat Baduy Dalam.
Menurut Djatisunda, salah seorang antropolog yang meneliti masalah etnis Sunda, mereka menyebut orang Sunda di luar Kanekes dengan sebutan Sunda Eslam (orang Sunda yang beragama Islam) dan dianggap sebagai urang Are atau dulur are. Ungkapan tersebut memperjelas pengakuan kedudukan etnis masyarakat Kanekes sebagai suku bangsa Sunda yang membedakannya hanyalah sistem religi karena tidak menganut agama Islam. Meskipun orang Baduy Cicakal Girang sudah beragama Islam akan tetapi masih saja mereka dianggap keberislamannya kurang sempurna karena masih tercampurnya keyakinan mereka dengan keyakinan nenek moyangnya (sunda wiwitan). Karena itu, mereka kerap kali dianggap sebagai penganut Islam baru.


BADUY SUNDA WIWITAN DAN BADUY MUSLIM

1.    Persepsi Orang Baduy Terhadap Orang Islam
   Sesuai dengan sejarah awal kampung Cicakal Girang sebagai kampung bentukan para leluhur adat Baduy yang dijadikan tempat khusus pemukiman warga Baduy yang sudah mengalami perubahan akibat melanggar ketentuan adat. Maka suasana dikampung ini terasa harmonis. Dengan keberadaan kampung ini, nampaknya komunitas Baduy ingin menampilkan sebagai komunitas adat yang mencintai kedamaian, hal ini sebagaimana tertera dalam prinsip hidup Orang Baduy yakni ”Ngasuh Ratu Nyayak Menak”.
Ketika berdialog dengan beberapa penganut agama Islam yang ada di Cicakal Girang, di temuka fenomena yang menarik dan sedikit tersentak kaget. Kendati mereka dengan bangga mengaku sebagai pemeluk Islam, akan tetapi, ada yang aneh dari pembicaraan mereka. Saya pun kemudian mengorek lebih jauh dengan dialog lebih intens. Pada akhirnya, mereka pun kemudian berterusterang dan berkata bahwa ketika mereka pindah kepercayaan menjadi penganut agama Islam, maka secara otomatis berlaku aturan dari Puun bahwa orang Baduy yang masuk Islam harus keluar dari kampung Baduy dan konsekuensinya mereka harus megeluarkan uang dalam jumlah tertentu kepada Puun sebagai tanda uang denda karena  ia masuk Islam. Istilah ini menurut mereka disebut dengan ”ngebokor”. Adanya ketentuan adat yang harus dipenuhi tersebut kemudian dinegosiasikan oleh beberapa juru dakwah Islam di tempat itu, dan pada akhirnya kebijakan itu oleh pemangku adat Baduy diminimalisir meskipun tidak secara jelas dihilangkan. Bukti keberhasilan negosiasi itu terlihat dari adanya satu keluarga yakni keluarga Muhammad Sadi, dari kampung Gerendeng, yang dapat bertahan di kampungnya meski sudah menjadi muslim, karena selama ini Sadi menjadi salah seorang tokoh desa.
Usaha dakwah Islam yang dilakukan oleh para juru dakwah masih banyak mengalami kesulitan, bahkan tingkat kesulitan itu membuat para da'i pemula ragu berjuang di Baduy. Di antara rintangan yang terberat yang dihadapi oleh juru dakwah dan komunitas Baduy Muslim adalah masih melakatnya mitos orang Baduy bahwa mereka masih dalam kondisi gencatan senjata melawan pasukan tentara Islam dari Banten. Hal ini disampaikan sendiri oleh salah seorang juru dakwah Islam bernama H. Zainudin Amir. Menurutnya ketika ia baru bertugas di Leuwidamar, ia hampir mundur dari medan jihad (dakwah) lantaran mengetahui Puun telah menginstruksikan warganya bersiaga berperang melawan kekuatan Islam. Menurutnya saat itu, Puun sudah menyuruh warganya mengisi penuh lumbung padi mereka, sebagai persiapan perang. Jika dibandingkan dari pernyataan para juru dakwah Islam yang saya temui di atas dengan kondisi yang sebenarnya di lapangan dan dialog dengan warga Baduy, justru ditemukan fakta yang berbeda. Orang Baduy justru sangat menghormati eksistensi Orang Baduy Muslim. Dalam kepercayaan Orang Baduy semua manusia pada dasarnya berasal dari satu keturunan yang kemudian berpencar dan mengalami perubahan identitas-identitas, termasuk di dalamnya identitas keagamaan.
2.    Persepsi Orang Islam Terhadap Orang Baduy
Sampai saat penelitian ini dilakukan, saya tidak menemukan sedikikitpun data terkait adanya konflik antara Orang Baduy dan Baduy Muslim yang dilatarbelakangi oleh motif agama. Jikalau ada konflik, hal itu terkait dengan sengketa pengolahan areal perladangan yang ada disekitar wilayah Baduy.
Harmonisasi beragama yang ada diwilayah Baduy disebabkan oleh kuatnya mereka dalam memegang prinsip bahwa mereka berawal dari satu keturunan atau keluarga. Karena itu, meskipun mereka berbeda kepercayaan, mereka tetaplah satu keluarga yang utuh. Ada banyak bukti yang bisa diperlihatkan bagaimana kerukunan di antara mereka tetaplah utuh. Pertama, prinsip gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat sangat jelas terlihat dalam komunitas Baduy. Siapa pun dia, apa pun agamanya, tidak begitu penting. Ketika tetangganya membutuhkan bantuan, mereka secara sukarela saling membantu, misalnya; dalam membangun pemukiman, Orang Baduy secara bersama-sama secara sukarela saling bergotong royong. Kedua, dalam hal ritual keagamaan. Meskipun kepercayaan mereka sudah berbeda, akan tetapi warga Baduy Muslim kerapkali mengikuti tradisi-tradisi atau ritual yang sudah diberlakukan secara turun temurun oleh nenek moyang mereka. Misalnya dalam tradisi Seba. Warga Baduy Muslim kerap kali memperingatinya secara meriah. Hal ini menurut kepercayaan mereka merupakan tradisi yang harus terus dilestarikan sampai kapan pun sebagai bentuk ungkapan rasa syukur atas anugrah Tuhan yang telah diberikan kepada mereka. Ketiga, meskipun identitas keagamaan mereka bukan lagi sebagai penganut agama sunda wiwitan, akan tetapi hal itu tidak membuat hubungan kekerabatan mereka terputus. Identitas agama bagi kepercayaan Orang Baduy bukan sebagai penghalang bagi mereka untuk memutuskan tali silaturrahmi di antara mereka. Bahkan dalam kepercayaan Orang Baduy, meskipun mereka saat ini sudah banyak berubah karena disebabkan pelanggaran adat atau pikukuh Baduy, akan tetapi dalam kepercayaan Baduy mereka tetaplah satu kasatuan yang utuh. Orang Baduy masih meyakini bahwa mereka adalah berasal dari satu keturunan yang tidak boleh terpecah hanya karena berbeda status atau kepercayaan. Bukti dari adanya kepercayaan ini terlihat dari upacara Seba yang selalu dilakukan oleh Orang Baduy setiap tahun sekali sebagai bentuk ungkapan rasa syukur dan pengakuan terhadap mereka yang berbeda.
Dalam wawancara dengan salah satu warga Baduy bernama H. Media yang sudah menjadi muslim dijelaskan bahwa kekerabatan mereka tetaplah terikat meskipun kepercayaan yang dianutnya berbeda. Sesekali ia mengunjungi sanak keluarganya di Baduy Dalam dan Baduy Luar yang masih menganut agama Sunda Wiwitan. Dalam kepercayaan Orang Baduy, saudara tetaplah saudara dan tidak akan berubah dan terputus sampai kapanpun meskipun meraka mengalami perubahan termasuk dalam hal kepercayaan beragama. Hal ini dipercayai oleh Orang Baduy karena mereka masih memegang prinsip bahwa Orang Baduy berasal dari satu keluarga.
3.    Status Muslim Baduy
Pada masyarakat Baduy Tangtu perkawinan hanya dilakukan secara adat Baduy saja. Berbeda dengan Baduy Panamping, biasanya setelah kawin adat selesai dilakukan, maka mempelai laki-laki dengan ditemani salah seorang kerabatnya pergi ke amil dikampung Cicakalgirang. Di kampung Cicakalgirang ini-lah satu-satunya kampung Baduy yang sebagian besar penduduknya sudah beragama Islam. Keberadaan kampung Islam di Baduy ini, bagi masyarakat Baduy dianggap perlu sebagai salah satu bentuk pengesahan perkawinan yang telah dilakukan. Proses ini menarik untuk diamati, masyarakat Baduy yang kepercayaannya berbeda dengan umat Islam umumnya, tetapi dalam tradisi perkawinan ia tetap mengacu kepada aturan yang diterapkan oleh agama Islam.
Jika dilihat dari ketentuan adat ini, maka ada beberapa pesan yang bisa ditemukan; Pertama, masyarakat Baduy merasa penting adanya ketentuan proses perkawinan yang disahkan tidak hanya menurut adat, akan tetapi juga menurut agama konvensional dan hukum negara.Kedua, pola pernikahan seperti ini dilakukan oleh masyarakat Baduy sebagai rasa hormat akan kesultanan Banten yang pernah menjadi raja (penguasa) di tanah Banten  yang beragama Islam termasuk didalamnya tanah Baduy, dan hal ini diwujudkan dengan ketentuan adat yang mengharuskan pernikahan masyarakat Baduy memakai cara adat dan hukum Islam. Khusus bagi masyarakat Baduy Panamping (Luar), sebelum proses pernikahan di mulai, mempelai laki-laki mengucapkan ikrar (syahadat) dengan bahasa sunda kuno. Syahadat itu hampir mirip dengan kalimat sahadat yang dipakai dalam Islam. Sedangkan dalam proses ritual perkawinan, di masyarakat Baduy Tangtu (Dalam) yang disebut dengan kawin batih (kawin kekal) dihadapan Puun, kedua mempelai dan orang tuanya mengucapkan sadat tangtu, yang berbeda isinya dengan syahadat Panamping.
d. Konversi Agama Bagi Orang Baduy
Kedekatan Orang Baduy terhadap agama Islam bukanlah hal yang baru. Islam dan Baduy dalam catatan sejarah ternyata mempunyai hubungan yang kuat dan lama. Di antara data sejarah yang menguatkan hal tersebut adalah salah satu cerita yang menjelaskan bahwa pada zaman dahulu ada seorang pangeran yang cukup terkenal karena kesaktiannya. Pangeran itu dikenal dengan nama Pangeran Astapati atau disebut dengan nama lain Pangeran Mulyasmara. Menurut ceritanya, pangeran ini tidak hanya dikenal karena kesaktiannya, akan tetapi juga dikagumi akan kedalaman ilmunya. Menurut riwayatnya, Pangeran ini diperkirakan berasal dari masyarakat Baduy yang masuk Islam dan mengabdikan dirinya kepada kesultanan Banten. Makam beliau terletak di desa Kasunyatan Kecamatan Kasemen Kota Serang. Dalam sumber yang lain, Islam pertama dikenal oleh masyarakat Baduy di kampung Cicakal Girang sejak kurang lebih 300 tahun silam atau kira-kira tahun 1680-an Islam dianut oleh masyarakat Baduy di kampung Cikakal Girang.[4][30]
Dalam kehidupan keseharian Orang Baduy, meskipun secara identitas keagamaan mereka sudah berubah, akan tetapi terkadang dalam prilaku sehari-hari; baik itu cara berpakaian, bekerja, bahkan beribadah pun identitas ke-Baduy-an mereka tidak hilang. Orang Baduy Muslim pun dalam hal adat masih tetap mereka ikuti, karena mereka menganggap sebagai warisan leluhur yang harus dijaga kelestariannya. Jika mengacu pada kriteria konversi agama yang dikemukakan oleh Schwartz, maka konversi agama yang dilakukan oleh orang Baduy masuk katagori konversi  yang berlangsung melalui proses bertahap sesuai dengan perubahan ‘diri’ yang berkesinambungan.
William James mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya konversi agama antara lain disebabkan karena faktor perubahan status. Perubahan status yang terjadi dalam diri seseorang dapat menyebabkan terjadinya konversi agama. Apalagi perubahan itu terjadi secara mendadak. Seperti perceraian atau kawin dengan orang yang berlainan agama.
Kondisi demikian juga terjadi pada beberapa orang Baduy. Meskipun dahulu adat Baduy melarang warganya untuk melangsungkan pernikahan dengan warga non Baduy. Akan tetapi saat ini sudah berubah. Orang Baduy mulai sadar bahwa perubahan akan tetap terjadi meskipun aturan adat sudah jelas melarang dengan ketat. Saat ini sudah dibentuk aturan adat (pikukuh) Baduy terkait dengan hukum pernikahan warga Baduy dengan warga non Baduy. Dalam aturan adat itu dijelaskan bahwa jika ada salah seorang warga Baduy yang melangsungkan pernikahan dengan warga non Baduy, maka ia secara otomatis tidak diakui lagi sebagai warga Baduy. Identitas ke-Baduyyannya di cabut. Dari penelusuran dilapangan, saat ini sudah banyak warga Baduy yang berpindah agama menjadi Islam disebabkan karena mereka menikah dengan warga Baduy yang sudah beragama Islam atau warga non Baduy yang beragama Islam. Ketika penelitian ini dilakukan, saya tidak menemukan data adanya warga Baduy yang berpindah agama menjadi penganut agama Kristen baik karena faktor perkawinan atau yang lainnya.
Jika mengamati sejarah suku Baduy dan perkembangannya sampai hari ini terutama terkait dengan keagamaannya sangatlah unik dan menarik. Ketika masa Orde Lama dan Orde Baru dengan kekuatan hegemoni Negara melakukan intervensi terhadap praktek pengamalan keagamaan masyarakat dengan memilah agama resmi dan agama tidak resmi. Pendefinisian agama resmi oleh Negara yang mengacu pada kepentingan agama “resmi” dan yang membatasi diri pada formulasi agama semitis (agama langit), dalam kenyataannya telah membawa implikasi yang serius dalam pelanggaran hak berkeyakinan terutama bagi mereka penganut kepercayaan lokal seperti komunitas suku Baduy. Bahkan diskriminasi tersebut juga terjadi sampai hari ini. Masalah kebebasan mengekspresikan keyakinan agama terutama bagi kepercayaan-kepercayaan lokal—termasuk di dalamnya agama Orang Baduy—masih sangat memprihatinkan. Para penganut kepercayaan tersebut dianggap tidak beragama sebelum masuk kedalam salah satu agama yang diakui oleh pemerintah.
Wujud adanya hegemoni Negara atas komunitas adat membuat mereka secara terpaksa melakukan pindah agama dengan memilih agama resmi yang sudah ditentukan oleh Negara. Jika tidak demikian, identitas keagamaan mereka tidak diakui oleh Negara. Bahkan dalam komunitas Baduy juga bisa dilihat bagaimana mereka secara berpura-pura memeluk agama Islam, akan tetapi sebenarnya mereka tidak beragama Islam. Ke-Islam-an hanya sebagai sarana pengakuan atau mencari legalitas saja. Misalnya, dalam praktek perkawinan Baduy. Meskipun mereka tetap mengakui sebagai penganut agama “Sunda Wiwitan” akan tetapi dalam aturan adat, pasangan suami istri yang sudah disahkan secara adat, diwajibkan menikah secara hukum Islam. Hal ini harus dilakukan karena mereka menyadari bahwa komunitas Baduy adalah bagian dari warga Negara Indonesia. Karena itu, Orang Baduy harus tunduk dan patuh dengan berbagai aturan yang sudah ditetapkan termasuk dalam hal tatacara perkawinan yang sudah ditetapkan dalam Undang-undang Perkawinan Negara Republik Indonesia.
Dalam kehidupan keagamaan masyarakat Baduy, proses Islamisasi dilakukan dilakukan secara berangsur-angsur dengan membutuhkan waktu yang sangat lama. Proses tersebut berlangsung secara alami sehingga individu tidak menyadari kapan keyakinan dan kepercayaan terbentuk dalam dirinya. Tidak ada peristiwa dramatis yang menyertai proses ini, karena proses ini lebih merupakan proses belajar sosial.Yang menariknya, meskipun masyarakat Baduy mengatakan bahwa mereka juga termasuk beragama Islam, akan tetapi faktanya keagamaan mereka masih bercampur dengan tradisi kepercayaan leluhur mereka. Karena alasan itu, maka wajar jika mereka masih tetap dianggap sebagai bukan penganut agama Islam yang sebenarnya, identitas keislaman mereka masih tetap diragukan atau tidak sempurna. Dari beberapa kasus keluarga yang melakukan konversi agama menjadi penganut agama Islam, hampir semuanya mengatakan bahwa alasan mereka masuk Islam karena tertarik dengan ajaran Islam itu sendiri yang disampaikan oleh para juru dakwah Islam di daerah mereka. Alasan mereka memilih Islam sebagai agama pilihan karena mereka menganggap bahwa antara Orang Baduy dan agama Islam mempunyai hubungan yang lama dan erat. Bukti kedekatan itu misalnya terlihat dari penyebutan identitas agama mereka dengan sebutan ”Slam Sunda Wiwitan”.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar