ISLAMISASI DI SUKU BADUY
//
Komunitas
Baduy dikenal sebagai komunitas yang taat kepada kepercayaannya. Akan tetapi
faktanya, banyak juga di antara mereka yang melakukan pindah kepercayaan atau agama
menjadi penganut agama Islam. Perpindahan agama ini bagi orang Baduy mengandung
resiko yang sangat Barat. Mereka tidak hanya harus terusir dari kependudukan
Baduy Dalam, melainkan juga tidak diakui sebagai penduduk Baduy Luar. Komunitas
Baduy Muslim ini-lah yang kemudian dikenal sebagai Baduy Dangka. Keberadaan
masyarakat kampung Baduy Dangka berdampingan dengan masyarakat luar Baduy.
Bahkan dari segi berpakaian, antara masyarakat Dangka dengan masyarakat Luar
Baduy sudah tidak terlihat lagi perbedaannya. Masyarakat Dangka kini sudah
banyak yang beragama Islam, bahkan memakai jilbab layaknya umat Islam lainnya.
Hanya dalam hal-hal tertentu mereka terkadang masih mengikuti aturan-aturan
adat terutama ketika perayaan-perayaan tradisi Baduy yang dianggap sakral.
Kehidupan di Baduy Dangka secara
adat memang sudah jauh lebih longgar dibandingkan dengan Baduy Panamping
sendiri. Karena keberadaan masyarakat Dangka pada mulanya berasal dari perpindahan
masyarakat Panamping. Hampir sama dengan masyarakat Panamping, keberadaan
masyarakat Dangka berasal dari dua faktor; Pertama, karena keinginan
sendiri untuk pindah dari Panamping menjadi masyarakat yang hidup lebih bebas. Kedua,
karena faktor adanya pengusiran dari Panamping akibat melanggar adat. Meskipun
begitu, warga Dangka masih diperbolehkan kembali menjadi warga Panamping
setelah ia menjalani upacara penyucian dosa akibat melanggar ketentuan adat.
Dalam penelitian ini,
objek yang akan dijadikan penelitian adalah wilayah kampung Cicakal Girang.
Pemilihan tempat ini didasari oleh beberapa alasan; Pertama, sejak tahun
1975, atas kebijakan lembaga adat Baduy, warga Cicakal Girang yang kini sudah
berjumlah 324 jiwa (158 laki-laki, 166 perempuan) tersebut bebas membangun
rumahnya terbuat dari bahan semen, pasir dan batu/bata, memiliki lantai
keramik, genting dan sebagainya yang tidak boleh terlalu mewah. Disana juga
terdapat tanaman cengkeh, kerbau peliharaan, sawah, kolam ikan (yang kesemuanya
merupakan pantangan adat Baduy). Kedua, di Cicakal Girang, alat
penerangan pun sudah memanfaatkan listrik bertenaga surya.Cara berpakaian dan
pola perilaku mereka juga jauh berbeda dengan warga Baduy. Ketiga, di
kampung Cicakal Girang hampir seluruhnya sudah beragama Islam.
Berdasarkan uraian di atas, maka
permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah; 1). Apa makna
agama bagi komunitas Baduy ? 2). Bagaimana persepsi orang Baduy terhadap mereka
yang beragama di luar kepercayaan yang dianutnya ? 3). Bagaimana persepsi orang
Baduy yang sudah beragama Islam memandang orang Baduy yang belum beragama Islam
? 4). Faktor-faktor apa sajakah yang melatarbelakangi orang Baduy pindah agama
?.
Untuk mencapai hasil penelitian
yang sistematis dan maksimal, penelitian ini menggunakan beberapa metode
analisa data; historis dan fenomenologis dan diuraikan secara deskriptif
analitis. Pendekatan historis digunakan sebagai alat untuk dapat memahami
sejarah komunitas muslim Baduy, proses prubahannnya. Sedangkan pendekatan
fenomenologis digunakan untuk melihat berbagai fenomena dilapangan, baik itu
pada prilaku, persepsi, perubahan persepsi yang terjadi pada masyarakat baduy
atau mereka yang sudah menjadi Muslim
William James mengungkapkan
faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya konversi agama antara lain : Pertama,
Konversi agama terjadi karena adanya suatu tenaga jiwa yang menguasai pusat
kebiasaan seseorang sehingga pada dirinya muncul persepsi baru, dalam bentuk
suatu ide yang bersemi secara mantap. Kedua, Konversi agama dapat terjadi oleh
karena suatu krisis ataupun secara mendadak (tanpa suatu proses). Ketiga, Konversi agama dapat
terjadi oleh 2 faktor; intern dan faktor ekstern. Pertama, Faktor
Intern; 1). Kepribadian. W. James menemukan bahwa, tipe melankolis yang
memiliki kerentanan perasaan lebih mendalam dapat menyebabkan terjadinya
konversi agama dalam dirinya; 2). Pembawaan. Ada semacam kecendrungan
urutan kelahiran mempengaruhi konversi agama, ini dapat dilihat urutan
kelahiran. Anak sulung dan anak bungsu biasanya tidak mengalami tekanan batin,
sedangkan anak-anak yang dilahirkan pada urutan antara keduanya sering
mengalami stres jiwa. Kondisi tersebut juga bisa mempengaruhi terjadinya
konversi agama. Kedua, Faktor Ekstern; 1). Keluarga. Terjadinya
ketidakserasian, keretakan keluarga, berlainan agama, kesepian, kesulitan
seksual, tidak harmonisnya keluarga serta kurang mendapatkan pengakuan kaum
kerabat kondisi tersebut bisa saja menyebabkan seseorang mengalami tekanan
batin sehingga terjadi konversi agama dalam usahanya untuk mencari hal-hal baru
dalam rangka meredakan tekanan batin yang menimpa dirinya; 2). Lingkungan.
Seseorang yang tinggal di suatu tempat dan merasa tersingkir dari kehidupan di
suatu tempat dan merasa hidup sebatang kara. Pada saat ini dia mendambakan
ketenangan batin dan tempat untuk bergantung agar kegelisahan batinnya bisa
hilang; 3). Perubahan Status. Perubahan yang terjadi dalam diri
seseorang dapat menyebabkan terjadinya konversi agama. Apalagi perubahan itu
terjadi secara mendadak. Seperti perceraian atau kawin dengan orang yang
berlainan agama; 4). Kemiskinan. Masyarakat yang awam cenderung untuk
memeluk agama yang menjanjikan kehidupan dunia yang lebih baik.
Menurut Jalaluddin setidaknya ada tiga faktor utama yang menyebabkan
terjadinya konversi agama, yaitu : Pertama, Petunjuk Ilahi/hidayah.
Adanya petunjuk dari yang Maha Kuasa terhadap seseorang sehingga individu
menerima kondisi yang baru dengan penyerahan jiwa sepenuhnya. Kedua,
Faktor sosial. Beberapa faktor sosial yang mempengaruhi terjadinya konversi
agama antara lain : 1) Pergaulan yang bersifat keagamaan maupun nonagama
(kesenian, ilmu pengetahuan); 2) Pengaruh kebiasaan-kebiasaan yang bersifat
ritual, misalnya mengahdairi upacara keagamaan; 3) Pengaruh ajakan dan persuasi
dari orang-orang yang dekat, misalnya keluarga, sahabat; 4) Pengaruh pemimpin
agama; 5) Pengaruh komunitas atau perkumpulan sosial yang diikuti; 6) Pengaruh
kekuasaan negara/ hukum: Penduduk suatu negara mempunyai kecenderungan untuk
mengikuti agama yang menjadi agama negara. Ketiga, Faktor Psikologis.
Adanya kebingungan, tekanan, dan perasaan putus asa yang menimbulkan kondisi
yang tidak menyenangkan bagi individu sehingga mendorongnya untuk mencari
perlindungan ke kekuatan lain yang dianggap mampu memberinya jawaban,
ketenangan dan ketentraman jiwa.
Dilihat dari letak geografisnya,
Baduy terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LU dan 108°3’9” – 106°4’55” BT[1] dan masuk dalam
wilayah wilayah Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak Provinsi
Banten. Banten merupakan salah satu wilayah yang yang cukup luas terutama areal
perhutannya yakni Jumlah
luas hutan sendiri sekitar 282,105, 64 ha. Luas hutan itu meliputi hutan
lindung 8%, hutan produksi 27% dan hutan konservasi 65%. Provinsi
yang pada awalnya merupakan pemekaran dari Provinsi Jawa Barat ini mempunyai
kandungan alam terbilang cukup kaya.
Luas areal suku Baduy sekarang
telah mengalami penyempitan seiring dengan adanya kebijakan pemerintah yang
menjadikan sebagian areal hutan Baduy menjadi hutan produksi dengan ditanami
pohon Sawit dan Karet. Dalam catatan yang ditulis oleh A.J. Spaan pada tahun
1867 dan B. Van Tricht tahun 1929 bahwa pada abad ke-18 wilayah Baduy
terbentang mulai dari Kecamatan Leuwidamar sampai ke Pantai Selatan. Sedangkan
dalam catatan Judhistira Garna, berdasarkan adanya kesamaan kepercayaan sunda
lama dan adanya pertalian kerabat masyarakat, maka wilayah Baduy meliputi
beberapa kecamatan yakni; Muncang, Sajira, Cimarga, Maja, Bojongmanik dan
Leuwidamar. Terjadinya penyempitan wilayah Baduy pada fase kemudian disebabkan
adanya kebijakan Sultan Banten dalam rangka penyebarluasan agama Islam.
Mengurai benang kusut terkait
dengan sejarah Baduy memang cukup rumit. Kerumitan itu muncul karena ada
beberapa versi yang masing-masing saling bertentangan. Berdasarkan hasil
penelusuran, ditemukan beberapa versi yang berbeda, di antara versi tersebut;
a.
Perspektif Masyarakat
Baduy
Penyebutan mereka dengan sebutan
Orang Baduy atau Urang Baduy sebagaimana yang umum dilakukan oleh masyarakat
luar atau peneliti sebenarnya tidak-lah mereka sukai. Mereka lebih senang menyebut
dirinya sebagai Urang Kanekes, Urang Rawayan, atau lebih khusus dengan menyebut
perkampungan asal mereka seperti; Urang Cibeo, Urang Cikartawana, Urang Tangtu,
Urang Panamping.
Lalu pertanyaannya dari mana
penyebutan istilah Baduy itu berasal?. Menurut Hoevell bahwa penyematan mereka
dengan sebutan Baduy pertama kali dilakukan oleh orang-orang yang berada di
luar Baduy yang sudah memeluk agama Islam. Penyebutan ini ditengarai sebagai
sebutan ejekan terhadap mereka (Orang Baduy) berdasarkan beberapa alasan yakni
kehidupan yang primitif, nomaden, ketergantungan pada alam, membuat mereka
di samakan dengan kehidupan masyarakat Badui, Badawi atau Bedouin
yang ada di daerah Arab.[2]Dengan alasan
ini-lah kemudian istilah Baduy pun di bakukan dan lebih dikenal dibandingkan
dengan istilah suku atau orang Kanekes itu sendiri. Begitu populernya istilah
ini (Baduy) bagi masyarakat di luar Baduy membuat beberapa masyarakat di luar
Baduy memberikan nama-nama kandungan alam dengan Istilah Baduy, seperti
penyebutan Gunung yang ada diwilayah Baduy dengan sebutan Gunung Baduy, dikenal
juga Sungai Baduy. Bahkan menurut Pleyte, kata ”Baduy” sendiri mempunyai ciri
yang khas sebagai kata dalam bahasa sunda seperti; tuluy, aduy, uruy. Dalam sumber yang lain, penyebutan mereka dengan
istilah Baduy, pertama kali disebutkan oleh orang Belanda ketika melakukan
penjajahan di Indonesia. Orang Belanda biasa menyebut mereka dengan
sebutan badoe’i, badoej, badoewi,
Urang Kanekes dan Urang Rawayan.
Penyebutan
istilah di atas didasari oleh beberapa alasan; Pertama, istilah Baduy
muncul karena berasal dari nama sebuah gunung Baduy yang kini menjadi tempat
huniannya. Alasan ini kemudian ditolak karena penyebutan gunung menjadi gunung
Baduy muncul setelah mereka membuka areal perhutanan tersebut untuk dijadikan
pemukiman. Kedua, istilah Baduy berasal dari kata Budha yang kemudian
berubah menjadi Baduy. Ketiga, Ada juga yang mengatakan bahwa istilah
Baduy berasal dari kata “Baduyut” kerena di tempat ini-lah banyak
ditumbuhi pepohonan baduyut, sejenis beringin. Keempat, pendapat yang
lain juga muncul bahwa penyebutan Baduy di ambil dari bahasa Arab Badui
yang berarti berasal dari kata Badu atau Badawu yang artinya
lautan pasir. Alasan ini menurut saya kurang tepat. Penyamaan istilah Baduy
dengan keberadaan suku yang ada di Arab bukanlah berdasarkan kesamaan definisi
istilah, akan tetapi berdasarkan kesamaan pola hidup yakni berpindah-pindah
(nomaden) dari satu tempat ke tempat yang lain mengikuti keberadaan tempat
persediaan kebutuhan hidup dalam hal ini keberadaan pangan. Berdasarkan
hasil wawancara dengan beberapa kokolot adat (tokoh adat) dan
masyarakat Baduy, terkait dengan sejarah asal usul masyarakat suku
Baduy, mereka meyakini bahwa asal masyarakat Baduy berasal dari keturunan Batara
Cikal yang merupakan salah satu dari tujuh Dewa atau Batara yang diutus untuk
datang dan memelihara bumi. Yang menarik dari kepercayaan masyarakat Baduy ketika
penelitian ini dilakukan adalah adanya kepercayaan bahwa asal
usul-nya terkait atau berhubungan dengan Nabi Adam yang diyakini oleh mereka
sebagai nenek moyang pertama.
b.
Perspektif Ahli
Sejarah
Berbeda dengan kepercayaan
masyarakat Baduy tentang sejarah asal-usul mereka. Para ahli sejarah mempunyai
pandangan yang ternyata juga berbeda versi prihal sejarah awal Baduy. Versi
pertama menyatakan bahwa sejarah awal keberadaan masyarakat Baduy berasal dari
Kerajaan Padjajaran sebagaimana tertera dalam catatan pertama tahun 1822
mengenai suku Baduy yang ditulis oleh ahli botani bernama C.L. Blumen. Menurut sejarah, pada
sekitar abad ke-12 dan ke-13 M, kerajaan
Pajajaran menguasai seluruh tanah Pasundan meliputi Banten, Bogor, Priangan
sampai ke wilayah Cirebon. Saat itu kerajaan Padjajaran dikuasai oleh Raja bernama Prabu
Bramaiya Maisatandraman atau yang lebih dikenal dengan gelar Prabu Siliwangi. Ketika terjadi
pertempuran sekitar abad ke-17 M antara kerajaan Banten melawan kerajaan Sunda,
kerajaan Sunda yang saat itu dipimpin oleh Prabu Pucuk Umun (keturunan Prabu
Siliwangi) mengalami kekalahan yang cukup telak. Karena itu-lah Sang Parbu
Pucuk Umun dengan beberapa punggawanya melarikan diri ke daerah hutan
pedalaman. Dari sini-lah kemudian mereka hidup menetap dan berkembangbiak
menjadi komunitas yang kemudian kini disebut sebagai suku Baduy. Pendapat
ini jika kita bandingkan dengan beberapa bait pantun yang kerap dinyayikan oleh
masyarakat Baduy ketika hendak melakukan upacara ritual, nampaknya mempunyai
nilai pembenarannya. Pantun tersebut berbunyi:
“Jauh teu puguh nu dijugjug,
leumpang teu puguhnu diteang, malipir dina gawir, nyalindung dina gunung, mending
keneh lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan perang jeung paduduluran nu
saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sa wangatua”
Artinya : “jauh tidak
menentu yang tuju (Jugjug), berjalan tanpa ada tujuan, berjalan ditepi tebing,
berlindung dibalik gunung, lebih baik malu dan hina dari pada harus berperang
dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan”
Keturunan ini-lah yang
sekarang bertempat tinggal di kampung Cibeo (Baduy Tangtu) dengan
ciri-ciri; berbaju
putih hasil jaitan tangan (baju sangsang), ikat kepala putih, memakai sarung
biru tua (tenunan sendiri) sampai di
atas lutut, dan sifat
penampilannya jarang bicara (seperlunya) tapi ramah, kuat terhadap hukum adat,
tidak mudah terpengaruh, berpendirian kuat tapi bijaksana.
Versi kedua, berbeda
dengan pendapat pertama di atas, pendapat kedua ini muncul dari Van Tricht yang
merupakan seorang dokter yang pernah melakukan riset di Baduy pada tahun 1928.
Menurutnya, komunitas Baduy bukanlah berasal dari sisa-sia kerajaan Padjajaran
yang melarikan diri, melainkan penduduk asli dari daerah tersebut yang
mempunyai daya tolak yang kuat terhadap pengaruh luar. Pendapat Van Tricht ini
hampir sama dengan pendapat yang diyakini oleh masyarakat Baduy sendiri yang
mengatakan bahwa mereka adalah masyarakat terpilih yang diberikan tugas oleh
raja untuk melakukan mandala (kawasan yang suci) di daerah kabuyutan
(tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang) Jati Sunda atau Sunda Asli atau
Sunda Wiwitan, yang kini di diami oleh masyarakat Baduy.
Versi ketiga, jika kita
coba komparasikan antara keyakinan sejarah masyarakat Baduy dengan penemuan
para ahli sejarah (arkeolog, budayawan, dan sejarawan) terlihat perbedaan yang
kontras bahkan bertolak belakang. Menurut catatan sejarah, berdasarkan proses
sintesis dari penemuan prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan
Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai Tatar Sunda, keberadaan masyarakat suku
Baduy sendiri dikaitkan dengan keberadaan Kerajaan Sunda yang sebelum
keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor
sekarang).
Menurut catatan para ahli
sejarah, sebelum berdirinya Kesultanan Banten oleh Sultan Maulana Hasanuddin
yang berada di wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan salah satu bagian
terpenting dari Kerajaan Sunda. Wilayah Banten pada saat itu adalah merupakan
pelabuhan dagang yang cukup besar yakni Pelabuhan Karangantu. Sungai Ciujung
yang berhulu di areal wilayah Baduy dan melewati Kabupaten Lebak dan Serang
dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan sangat ramai digunakan sebagai alat
transportasi untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman Banten.
Melihat kondisi ini, penguasa wilayah tersebut (Banten Selatan) yakni Pangeran
Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Dengan
alasan itu-lah, maka
kemudian ia memerintahkan pasukan khusus kerajaan yang sangat terlatih untuk
menjaga dan mengelola areal kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah
Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus
tersebut membuat mereka harus menetap dengan waktu yang cukup lama. Dengan
alasan ini, maka para ahli sejarah menetapkan bahwa asal mula masyarakat
suku Baduy yang sampai sekarang eksis masih mendiami wilayah hulu Sungai
Ciujung di Gunung Kendeng tersebut berasal. Adanya perpedaan pendapat tersebut
membuat sebagian pengamat suku Baduy menduga bahwa pada masa yang lalu,
identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, sebagai alasan untuk
melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Padjajaran dan
Banten.
Ketiga pendapat ini
memang sulit untuk dipadukan karena masing-masing (masyarakat Baduy dan ahli
sejarah) mempunyai alasan tersendiri—yang satu sama lainnya menganggap benar.
Karena itu, langkah yang bijak adalah membiarkan perbedaan pendapat itu sebagai
sebuah realita sejarah yang menarik dan unik.
KLASIFIKASI KOMUNITAS SUKU BADUY
a. Baduy Tangtu
Pemukiman Baduy Tangtu (Baduy
Dalam) atau bagi masyarakat Baduy sendiri biasanya menyebutnya dengan sebutan Urang
Tangtu, Urang Girang atau Urang Kejeroan yang berada di
bagian selatan. Masyarakat Baduy Tangtu dibagi menjadi tiga kelompok
berdasarkan nama kampung tempat tinggalnya, yaitu Kampung Cibeo atau Tangtu
Parahiyangan, Kampung Cikeusik atau Tangtu Pada Ageung dan Kampung Cikartawana
atau Tangtu Kadu Kujang. Keseluruhan wilayah kampung Baduy Tangtu ini disebut
dengan Telu Tangtu (Tiga Tangtu). Jumlah penduduk masyarakat Baduy Tangtu kini
diperkirakan berjumlah 800 orang. Penyebutan Baduy Tangtu atau Baduy Dalam
secara bahasa di ambil dari bahasa Sansekerta. Kata “tangtu” merupakan
kata benda yang bermakna; benang, silsilah, cikal bakal. Dalam Kamus Bahasa
Sunda Kuno, istilah “tangtu” berarti tempat atau kata sifat; pasti.
Menurut kepercayaan masyarakat Baduy sendiri, istilah “tangtu”
bermakna sebagai tempat dan sekaligus
pendahulu atau cikal bakal—baik dalam arti pangkal keturunan maupun pendiri
pemukiman. Penyebutan istilah “telu tangtu” ternyata sudah dikenal sejak zaman
Kerajaan Sunda. Dalam Kropak 360 disebutkan adanya “tri tangtu” yang dijadikan sebagai
peneguh dunia dan dilambangkan dengan raja sebagai sumber wibawa, rama sebagai
sumber ucapan yang benar, dan resi sebagai sumber tekad yang baik. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa dunia bimbingan di bawah sang rama, dunia kesejahteraan berada
di tangan sang resi, dan dunia pertahanan di bawah kendali sang raja. Di setiap
tangtu yang ada di Baduy Tangtu dipimpin oleh seorang Puun yang tugasnya
mengurusi masalah kerohanian bukan keduniawian. Meskipun begitu, para Puun
yang ada diwilayah Baduy Tangtu mempunyai wewenang yang lebih spesifik yakni
Puun Tangtu Cibeo sebagai Sang Prabu, Puun Tangtu Cikeusik sebagai Sang Rama,
dan puun Tangtu Cikartawana sebagai Sang Resi.
b. Baduy
Panamping
Baduy Panamping atau juga disebut
dengan Baduy Luar secara kuantitas penduduk merupakan kelompok terbesar. Baduy
Luar atau mereka menyebutnya dengan sebutan Urang Panamping atau Urang
Kaluaran menghuni areal sebelah utara Baduy. Saat ini, masyarakat Baduy
Luar tersebar di 26 kampung yakni Kampung Kaduketug, Cihulu, Sorokokod, Cigula,
Karahkal, Gajeboh, Kaduketer, Cibongkok, Cicatang, Cicakal Muara, Cikopeng,
Cicakal Girang, Cipaler, Cipiit, Cisagu, Babakan Ciranji, Cikadu, Cipeucang,
Cijanar, Batubeulah, Cipokol, Pamoean, Kadukohak, Cisaban, dan Batara. Di
setiap kampung yang ada di Baduy Panamping ini dimpimpin oleh seorang kokolot
lembur (sesepuh kampung). Menurut Edi S Ekadjati, pada awalnya jumlah suku
Baduy panamping memiliki 30 kampung dan ditambah 3 kampung yang ada di Baduy
Dalam. Karena itu dalam istilah Baduy ada yang dinamakan Nusa Telupuluhtelu
( Nusa 33).
Keberadaan penduduk Penamping menurut
sejarahnya ada yang secara turun temurun menetap di situ, ada juga masyarakat
pendatang atau pindahan dari wilayah Baduy Tangtu. Adanya migrasi ini
disebabkan dua faktor; pertama, pindah atas kemauan sendiri disebabkan
sudah tidak sanggup lagi hidup dilingkungan masyarakat Tangtu. Perpindahan
model ini bagi masyarakat Baduy disebut dengan undur rahayu (pindah
secara baik-baik). Kedua, pindah karena diusir dari wilayah Tangtu
sebab telah melanggar adat. Meskipun begitu, antara warga Tangtu dan Panamping
secara hubungan kekerabatan mereka tidak terputus walaupun berbeda status kewargaannya. Mereka
tetap sesekali melakukan kunjungan satu sama lainnya demi membina keutuhan hubungan
kekeluargaan.
c. Baduy Dangka
Keberadaan masyarakat kampung
Dangka berdampingan dengan masyarakat luar Baduy. Bahkan dari segi berpakaian,
antara masyarakat Dangka dengan masyarakat Luar Baduy sudah tidak terlihat lagi
perbedaannya. Masyarakat Dangka pun kini sudah banyak yang beragama Islam,
bahkan memakai jilbab layaknya umat Islam lainnya. Hanya dalam hal-hal tertentu
mereka terkadang masih mengikuti aturan-aturan adat terutama ketika
perayaan-perayaan tradisi Baduy yang dianggap sakral.
Kehidupan di Baduy Dangka secara
adat memang sudah jauh lebih longgar dibandingkan dengan Baduy Panamping
sendiri. Karena keberadaan masyarakat Dangka pada mulanya berasal dari
perpindahan masyarakat Panamping. Hampir sama dengan masyarakat Panamping,
keberadaan masyarakat Dangka berasal dari dua faktor; Pertama, karena
keinginan sendiri untuk pindah dari Panamping menjadi masyarakat yang hidup
lebih bebas. Kedua, karena faktor adanya pengusiran dari Panamping
akibat melanggar adat. Meskipun begitu, warga Dangka masih diperbolehkan
kembali menjadi warga Panamping setelah ia menjalani upacara penyucian dosa
akibat melanggar ketentuan adat. Meskipun masyarakat Baduy secara tingkatan
kewargaan terbagi atas tiga lapisan; Tangtu, Panamping dan Dangka. Akan tetapi
status hubungan kekerabatan atau kekeluargaan satu sama lainnya tidak terputus.
Orang Tangtu masih menganggap keluarga kepada anggota keluargannya meskipun
mereka ada diwilayah Panamping atau Dangka sekalipun, begitu sebaliknya.
Prinsip hidup seperti ini-lah yang membuat keutuhan masyarakat Baduy sampai
saat ini masih terjaga dengan baik. Akan tetapi, perbedaan kewarganegaraan akan
berpengaruh hanya dalam hal-hal tertentu seperti pernikahan, pengangkatan
jabatan struktur pemerintahan.
TEMUAN DAN ANALISA DATA
a. Sunda Wiwitan dan Makna Agama
Bagi Orang Baduy
Ketika untuk
pertama kali menginjakan kaki di wilayah Baduy. Kesan pertama yang dirasakan
adalah bahwa Baduy adalah sebuah masyarakat yang memperaktekkan inti semua
ajaran agama (Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, atau agama apa pun) yaitu
mencintai sesama makhluk (manusia dan alam) dan Sang Pencipta. Tetapi kenapa
masyarakat luar Baduy memberikan identitas pada mereka sebagai masyarakat
penganut agama sunda wiwitan?. Lalu dari mana penamaan agama itu muncul ?.
ini-lah yang akan menjadi fokus kajian pada bagian ini.
Nama Sunda
Wiwitan yang berarti “sunda mula-mula” adalah merupakan penyebutan untuk nama
identitas agama orang Baduy. Penamaan ini muncul untuk menggambarkan bagaimana
keyakinan itu adalah yang paling awal dari masyarakat Sunda. Dalam literatur
Sunda kuno, Sunda Wiwitan merupakan perubahan nama dari agama yang dianut oleh
Wangsa Pajajaran. Jika dilihat dari sejarahnya, penamaan agama Baduy
menjadi sunda wiwitan bermula pada ritual pemujaan mereka yang disimbolkan
dengan Arca Domas sebagai leluhur mereka. Menurut mereka, dasar religi
masyarakat Baduy dalam ajaran Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang bersifat monoteis,
penghormatan kepada roh nenek moyang, dan kepercayaan kepada satu kekuasaan
yakni Sanghyang Keresa (Yang Maha Kuasa) yang disebut juga Batara
Tunggal (Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara
Seda Niskala (Yang Maha Gaib) yang bersemayam di Buana Nyungcung
(Buana Atas). Orientasi, konsep, dan pengamalan keagamaan ditujukan kepada pikukuh
untuk mensejahterakan kehidupan di jagat mahpar (dunia ramai). Adanya
kekuasaan tertinggi itu sampai saat ini masyarakat suku Baduy mempercayai bahwa
arwah nenek moyang jika dirawat akan memberikan kekuatan baik lahir maupun batin
kepada keturunannya. Karena alasan itu-lah, orang Baduy sampai saat ini begitu
menganggap sakral pemujaan kepada nenek moyangnya atau mereka menyebutnya para
karuhun.
Bagi masyarakat Baduy, mereka
meyakini bahwa Orang Baduy berasal dari khirarki tua, sedangkan dunia yang
berada di luar Baduy berasal dari turunannya. Karena alasan itu-lah maka orang
Baduy meyakini bahwa Nabi Adam sebagai manusia yang pertama di bumi berasal
dari Baduy. Kepercayaan khirarki tua atau pertama ini membuat mereka merasa
bertanggungjawab atas keutuhan alam dan kelangsungan hidup manusia di muka bumi
ini. Karena itu, Orang Baduy harus selalu melakukan tapa agar keberadaan
bumi ini selalu terjaga. Seluruh keyakinan itu mereka namakan dengan sebutan ”Agama
Slam Sunda Wiwitan”. Dalam kepercayaan Orang Baduy, Agama Slam Sunda
Wiwitan merupakan agama khusus yang
diperuntukkan untuk komunitas Baduy dan tidak disebarkan kepada masyarakat luar
Baduy. Jika dilihat secara sederhana, kepercayaan Orang Baduy tersebut
cukup dekat dengan Islam. Bahkan penyebutan kata ”Slam” hampir mirip
dengan kata ”Islam”. Kesamaan lainnya juga terlihat dari kepercayaan
Orang Baduy yang hanya mempercayai satu Tuhan yang mereka sebut Gusti nu Maha
Agung, Gusti nu Maha Suci atau Sang Hyang Tunggal, namun dalam hal kenabian
mereka hanya percaya kepada Nabi Adam. Menurut salah seorang tokoh adat Baduy
mengatakan bahwa "Nabi
Adam adalah junjungan orang Baduy, kami berasal dari
Adam,"
Terkait dengan posisi Nabi
Muhammad Saw yang depercayai oleh umat Islam sebagai Nabi dan panutan
tertinggi, justru Orang Baduy pun sebenarnya mengakui kenabian Muhammad, akan
tetapi mereka menempatkan posisi Nabi Muhammad dalam posisi sebagai
saudara Nabi Adam. Bahkan
entah dari mana sumbernya, sampai saat ini Orang Baduy percaya bahwa Nabi
Muhammad adalah adik Nabi Adam. Faktor lain yang menunjukan kedekatan ajaran
Baduy dengan Islam, adanya buyut atau pantangan minum arak (khmar) dan memakan
anjing. Dalam kepercayaan Agama Slam Sunda Wiwitan tidak dikenal adanya
perintah sholat sebagaimana yang diwajibkan oleh agama Islam. Orang Baduy pun
tidak memiliki kitab suci layaknya agama-agama lain. Bagi masyarakat Baduy,
pengenalan dan pemahaman Agama Slam Sunda Wiwitan cukup dikenalkan hanya
dengan lisan, penuturan, dan percontohan.
Inti kepercayaan tersebut dapat
ditunjukkan dengan adanya kepercayaan akan pikukuh atau ketentuan adat
mutlak yang disampaikan para leluhurnya untuk selalu dianut dan dijadikan
pegangan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Baduy. Warisan pikukuh
nenek moyang ini-lah yang dijadikan ”sabda suci” dan panutan hidup orang Baduy
sampai kini. Isi terpenting dari konsep pikukuh (kepatuhan) masyarakat
Baduy adalah konsep ketentuan "tanpa perubahan apapun", atau
perubahan sesedikit mungkin. Hal ini bisa dilihat dari ajaran pikukuh:
“buyut nu dititipkeun ka puun
nagara satelung puluh telu
bangsawan sawidak lima
pancer salawe nagara
gunung teu meunang dilebur
lebak teu meunang dirusak
larangan teu meunang dirempak
buyut teu meunang dirobah
lojor teu meunang dipotong
pendek teu meunang disambung
nu lain kudu dilainkeun
nu ulah kudu diulahkeun
nu enya kudu dienyakeun
Artinya:
“buyut
yang dititipkan kepada puun
negara
tigapuluhtiga
sungai
enampuluhlima
pusat
duapuluhlima Negara
gunung
tidak bolehdihancurkan
lembah
tidak boleh dirusak
larangan
tidak boleh dilanggar
buyut
tidak boleh diubah
panjang
tidak boleh dipotong
pendek
tidak boleh disambung
yang
bukan harus ditiadakan
yang
lain harus dilainkan
yang
benar harus dibenarkan”
Kesakralan nilai ajaran yang dimiliki
oleh agama Orang Baduy membuat mereka secara berhati-hati dan patuh dalam
menjalankan berbagai pikukuh adat dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini
sebagaimana dituturkan oleh salah seorang pemangku adat Baduy bernama Ayah
Mursid. Menurutnya;
“Agama nu diagem ku masyarakat
Baduy ngarana Agama Slam Sunda Wiwitan, nabina Adam Tunggal. Dina keyakinan
Sunda Wiwitan kami mah teu kabagean parentah shalat seperti dulur-dulur sabab
wiwitan Adam tugasna memelihara keseimbangan ieu alam, teu ngabogaan kitabna da
ajarana neurap jeung alam. Makana agama Slam Sunda Wiwitan ngan ukur keur urang
Baduy”.
Kedekatan agama Orang Baduy
dengan Islam semakin terasa dan terlihat dari syahadat yang mereka gunakan.
Dalam kepercayaan adat Baduy, ada dua macam jenis sahadat; syahadat Baduy Dalam
dan Syahadat Baduy Luar.
Syahadat Baduy Dalam;
“asyhadu syahadat
Sunda
|
(asyhadu
syahadat Sunda
|
jaman Allah ngan
sorangan
|
Allah hanya satu
|
kaduanana Gusti
Rosul
|
kedua para Rasul
|
ka tilu Nabi
Muhammad
|
ketiga Nabi
Muhammad
|
ka opat umat
Muhammad
|
keempat umat
Muhammad
|
nu cicing di bumi
angaricing
|
yang tinggal di
dunia ramai
|
nu calik di alam
keueung”.
|
yang duduk di alam
takut
|
ngacacang di alam
mokaha
|
menjelajah di alam
nafsu
|
salamet umat
Muhammad”
|
selamat umat
Muhammad
|
Syahadat Baduy Luar;
“asyhadu Alla ilaha illalah
|
(Asyhadu Alla ilaha illalah
|
wa asyhadu anna Muhammad da
Rasulullah
|
wa asyhadu anna Muhammad da
Rasulullah
|
isun netepkeun ku ati
|
aku menetapkan dalam hati
|
yen taya deui Allah di dunya
ieu
|
bahwa tiada lagi Tuhan di dunia
ini
|
iwal ti Pangeran Gusti Allah
|
selain Pangeran Gusti Allah
|
jeung taya deui iwal ti Nabi
Muhammad utusan Allah”.
|
dan tiada lagi selain Nabi
Muhammad utusan Allah)
|
Dalam penggunaannya, syahadat
Baduy Dalam atau disebut juga syahadat sunda wiwitan disampaikan kepada Puun
sebagai ungkapan janji ikrar akan kesetiaan kepada aturan adat Baduy. Atau
sebagaimana umat Islam ketika mereka berikrar memeluk agama Islam. Sedangkan
syahadat Baduy luar digunakan oleh Orang Baduy ketika mereka hendak
melangsungkan pernikahan menurut tata cara Islam.
Jika diperhatikan redaksi kedua
syahadat di atas, jelas terlihat bahwa Orang Baduy sendiri mengakui Allah
sebagai Tuhan mereka. Lalu mengapa tata cara ibadah Orang Baduy berbeda dengan
umat Islam pada umumnya?. Menurut penganut agama sunda wiwitan, dikatakan bahwa
“kami mah ngan kabagean syahadatna wungkul, hente kabagean sholat”.
Artinya bahwa mereka hanya memperoleh syahadatnya saja, sedangkan
rukun-rukun Islam lainnya termasuk
didalamnya berbagai jenis ibadah ritual dalam agama Islam tidak pernah
diperoleh.[3][28] Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa agama Sunda Wiwitan
merupakan agama sinkretisme Islam dan Hindu yang dianut oleh masyarakat
Baduy. Keimanannya kepada Allah hanya terlihat di dalam pengucapan kalimat syahadat,
namun mereka melakukan praktik ritual keagamaan dengan berpedoman pada pikukuh,
aturan adat sendiri yang mirip dengan tradisi agama Hindu yaitu melakukan
pemujaan terhadap para dewa-dewa dan para leluhur di tempat suci bernama Sasaka
Domas.
DANGKA; KAMPUNG MUSLIM BADUY
Di antara kampung Baduy yang
masuk wilayah Dangka adalah kampung Cicakal Girang. Secara letak geografis,
Cicakal Girang berada di ujung barat Desa Kanekes yang berbatasan langsung
dengan Desa Keboncau Kecamatan Bojong Manik. Seiring dengan perkembangannya,
Cicakal Girang kini sudah berkembang menjadi dua kampung baru yang setiap
kampungnya sudah memiliki musholla sebagai sarana ibadah.
Berdasarkan sejarah kemunculan,
komunitas Baduy Muslim Cicakal Girang, ada beberapa versi sejarah yang
berbeda-beda. Menurut penuturan lisan yang dikemukakan oleh salah seorang warga
Baduy Muslim bernama Ustd. Abdul Rasyid (Tokoh Muslim Cicakal Girang)
mengatakan bahwa sejarah berdirinya Cicakal Girang diakibatkan oleh jauhnya
jarak yang harus ditempuh oleh Orang Baduy yang akan melakukan pencatatan
pernikahan. Karena alasan itu-lah, maka kemudian lembaga adat Baduy mengajukan
permohonan kepada Sultan Banten untuk menempatkan seorang warganya yang Muslim
untuk ditugaskan diwilayah Kanekes. Permintaan lembaga adat tersebut kemudian
direspon oleh pihak Kesultanan Banten, maka dikirimlah satu keluarga muslim
untuk membantu lembaga adat Baduy dalam mengurusi administrasi pernikahan warga
Baduy serta membantu merawat jenazah warga Baduy yang meninggal dunia. Mengenai
kapan hal itu terjadi, sampai saat ini belum ditemukan data yang jelas. Adapaun
mengenaik orang yang pertama kali ditugaskan oleh Sultan, menurut serita warga
Baduy adalah bernama Ki Sahum. Dalam versi yang lain diceritakan bahwa
keberadaan Kampung Cicakal Girang menurut sejarahnya merupakan areal
perkampungan yang sudah dipersiapkan sejak awal oleh orang Baduy sebagai tempat
bermukimnya warga Baduy yang sudah melanggar ketentuan adat Baduy. Keberadaan
kampung ini juga bisa dijadikan sebagai pembuktian dan bantahan pandangan
masyarakat luar Baduy yang beranggapan bahwa Baduy sangat kaku, menutup diri,
tidak bisa menerima adanya perubahan dan sulit untuk diajak kerjasama. Dengan
adanya komunitas Baduy Cicakal Girang yang kehidupannya sama dengan masyarakat
luar Baduy, membuktikan bahwa Baduy sama dengan masyarakat-masyarakat lainnya.
Saat saya untuk pertama kali
berkunjung ke wilayah Cicakal Girang, maka saya menyimpulkan bahwa
heterogenitas yang biasanya tidak terlihat pada komunitas Baduy Dalam, di Cicakal Girang-lah terasa suasana yang
berbeda. Pola kehidupan masyarakat Cicakal Girang sangat heterogen, karena itu
mereka tidak jauh berbeda dengan komunitas masyarakat di luar Baduy, baik itu
dari cara berpakaian, sampai ke masalah keyakinan. Di kampung Cicakal
Girang-lah berbagai fenomena yang biasanya tabu dan dilarang bagi komunitas
Baduy bermunculan. Di Cicakal Girang saat ini sudah berdiri sekolah formal
Madrasah Ibtidaiyah Masyarikul Huda, Masjid, perumahan yang sudah permanen,
cara berpakaian yang sudah tidak lagi terikat dengan aturan adat Baduy.
Meskipun jelas sekali perbedaannya dengan karakterisatik masyarakat Baduy
Dalam, akan tetapi kampung Cicakal Girang dijadikan oleh Orang Baduy sebagai
kampung khusus yang direstui perbedaannya oleh tokoh-tokoh adat Baduy. Ada sekitar
11.000 jiwa lebih penghuni kampung Cicakal Girang. Meskipun penduduk Baduy
Cicakal Girang sudah banyak berbeda dengan komunitas Baduy pedalaman, akan
tetapi, pola hidup mereka masih tetap sederhana. Kehidupan yang selalu dekat
dengan alam masih tetap melekat dalam pola berfikir dan kehidupan mereka.
Meskipun sampai saat ini sudah banyak kita jumpai rumah-rumah Orang Baduy yang
sudah permanen, akan tetapi tak sedikit juga dapat kita jumpai tipe rumah yang
masih sederhana. Rumah yang hanya berupa gubuk (anyaman bambu) beratap daun
kirai (rumbia) ditambah injuk masih menjadi pemandangan yang khas di kampung
Cicakal Girang. Pakaian yang khas dan amat sederhana, seperti berbaju komprang
tak berkerah yang dipadukan celana pendek atau kain sarung sebatas dengkul
ditambah ikat kepala, masih menjadi pakaian yang sering dipakai oleh laki-laki
Baduy Cicakal Girang.
Jika dilihat dari kehidupannnya,
masyarakat Baduy Cicakal Girang sudah lebih modern dibandingkan masyarakat
Baduy pedalaman. Meskipun begitu, sampai saat ini, orang luar Baduy masih
menganggap mereka sebagai masyarakat yang masih kolot dan tertinggal. Bahkan,
tak sedikit orang luar Baduy mengklaim mereka sebagai masyarakat yang bodoh dan
tidak beradab. Penilaian yang berbeda justru datang dari seorang juru dakwah di
kampung Cicakal Girang bernama H. Hassan Alaydrus. Ia justru memandang Orang
Baduy sebagai masyarakat yang cerdas dan selalu berpikir penuh siasat. Sifat
beradab yang dimiliki oleh Orang Baduy menurutnya karena mereka adalah
keturunan raja dan punggawa kerajaan zaman dulu, yang sifat dan tradisi
politiknya terwariskan sampai sekarang. Masyarakat kampung Cicakal Girang kini
sudah banyak yang menganut agama Islam. Secara bertahap masyarakat mulai
mengenal Islam dan kemudian secara resmi memeluk agama Islam dan meninggalkan
keyakinan mereka. Bahkan, kini di Desa ini sudah berdiri sebuah pondok
pesantren sebagai tempat para anak-anak Baduy Muslim belajar agama. Mereka
biasa disebut Baduy Pemukiman atau Baduy Muslim.
Menurut Jaro Desa Kanekes yakni
Jaro Daenah, saat ini, ada sekitar 4.000 masyarakat Baduy Pemukiman yang
keseluruhannya tinggal di 13 kampung yang berada di luar Desa Kanekes. Menurut
Jaro Daenah, mereka sebetulnya enggan menyebut dirinya sebagai orang Baduy.
Sebab, kehidupan mereka tak ubahnya seperti masyarakat di luar Baduy. Meskipun
begitu, keberadaan komunitas Baduy Pemukiman adalah tetap merupakan bagian dari
masyarakat Baduy Luar. Hanya saja selama ini, mereka dianggap tak sanggup
menjaga kesucian wilayah Baduy Dalam. Mereka tetap berpakaian warna hitam,
memperlihatkan ketidaksucian. Namun begitu, sebagai masyarakat yang masih
memakai identitas Baduy, mereka tetap harus taat pada fatwa para Puun. Hanya
pantangan yang mereka yakini berlaku lebih ringan ketimbang masyarakat Baduy Dalam.
Menurut Djatisunda, salah seorang
antropolog yang meneliti masalah etnis Sunda, mereka menyebut orang Sunda di
luar Kanekes dengan sebutan Sunda Eslam (orang Sunda yang beragama Islam) dan
dianggap sebagai urang Are atau dulur are. Ungkapan tersebut
memperjelas pengakuan kedudukan etnis masyarakat Kanekes sebagai suku bangsa
Sunda yang membedakannya hanyalah sistem religi karena tidak menganut agama
Islam. Meskipun orang Baduy Cicakal Girang sudah beragama Islam akan tetapi
masih saja mereka dianggap keberislamannya kurang sempurna karena masih
tercampurnya keyakinan mereka dengan keyakinan nenek moyangnya (sunda wiwitan).
Karena itu, mereka
kerap kali dianggap sebagai penganut Islam baru.
BADUY SUNDA WIWITAN DAN BADUY
MUSLIM
1. Persepsi
Orang Baduy Terhadap Orang Islam
Sesuai
dengan sejarah awal kampung Cicakal Girang sebagai kampung bentukan para
leluhur adat Baduy yang dijadikan tempat khusus pemukiman warga Baduy yang
sudah mengalami perubahan akibat melanggar ketentuan adat. Maka suasana
dikampung ini terasa harmonis. Dengan keberadaan kampung ini, nampaknya
komunitas Baduy ingin menampilkan sebagai komunitas adat yang mencintai
kedamaian, hal ini sebagaimana tertera dalam prinsip hidup Orang Baduy yakni
”Ngasuh Ratu Nyayak Menak”.
Ketika berdialog dengan beberapa
penganut agama Islam yang ada di Cicakal Girang, di temuka fenomena yang
menarik dan sedikit tersentak kaget. Kendati mereka dengan bangga mengaku
sebagai pemeluk Islam, akan tetapi, ada yang aneh dari pembicaraan mereka. Saya
pun kemudian mengorek lebih jauh dengan dialog lebih intens. Pada akhirnya,
mereka pun kemudian berterusterang dan berkata bahwa ketika mereka pindah
kepercayaan menjadi penganut agama Islam, maka secara otomatis berlaku aturan
dari Puun bahwa orang Baduy yang masuk Islam harus keluar dari kampung Baduy
dan konsekuensinya mereka harus megeluarkan uang dalam jumlah tertentu kepada
Puun sebagai tanda uang denda karena ia
masuk Islam. Istilah ini menurut mereka disebut dengan ”ngebokor”. Adanya
ketentuan adat yang harus dipenuhi tersebut kemudian dinegosiasikan oleh
beberapa juru dakwah Islam di tempat itu, dan pada akhirnya kebijakan itu oleh
pemangku adat Baduy diminimalisir meskipun tidak secara jelas dihilangkan.
Bukti keberhasilan negosiasi itu terlihat dari adanya satu keluarga yakni
keluarga Muhammad Sadi, dari kampung Gerendeng, yang dapat bertahan di
kampungnya meski sudah menjadi muslim, karena selama ini Sadi menjadi salah
seorang tokoh desa.
Usaha dakwah Islam yang dilakukan
oleh para juru dakwah masih banyak mengalami kesulitan, bahkan tingkat
kesulitan itu membuat para da'i pemula ragu berjuang di Baduy. Di antara
rintangan yang terberat yang dihadapi oleh juru dakwah dan komunitas Baduy
Muslim adalah masih melakatnya mitos orang Baduy bahwa mereka masih dalam
kondisi gencatan senjata melawan pasukan tentara Islam dari Banten. Hal ini
disampaikan sendiri oleh salah seorang juru dakwah Islam bernama H. Zainudin
Amir. Menurutnya ketika ia baru bertugas di Leuwidamar, ia hampir mundur dari
medan jihad (dakwah) lantaran mengetahui Puun telah menginstruksikan
warganya bersiaga berperang melawan kekuatan Islam. Menurutnya saat itu, Puun
sudah menyuruh warganya mengisi penuh lumbung padi mereka, sebagai persiapan
perang. Jika dibandingkan dari pernyataan para juru dakwah Islam yang saya
temui di atas dengan kondisi yang sebenarnya di lapangan dan dialog dengan
warga Baduy, justru ditemukan fakta yang berbeda. Orang Baduy justru sangat
menghormati eksistensi Orang Baduy Muslim. Dalam kepercayaan Orang Baduy semua
manusia pada dasarnya berasal dari satu keturunan yang kemudian berpencar dan
mengalami perubahan identitas-identitas, termasuk di dalamnya identitas
keagamaan.
2. Persepsi
Orang Islam Terhadap Orang Baduy
Sampai saat penelitian ini
dilakukan, saya tidak menemukan sedikikitpun data terkait adanya konflik antara
Orang Baduy dan Baduy Muslim yang dilatarbelakangi oleh motif agama. Jikalau
ada konflik, hal itu terkait dengan sengketa pengolahan areal perladangan yang
ada disekitar wilayah Baduy.
Harmonisasi beragama yang ada
diwilayah Baduy disebabkan oleh kuatnya mereka dalam memegang prinsip bahwa
mereka berawal dari satu keturunan atau keluarga. Karena itu, meskipun mereka
berbeda kepercayaan, mereka tetaplah satu keluarga yang utuh. Ada banyak bukti
yang bisa diperlihatkan bagaimana kerukunan di antara mereka tetaplah utuh. Pertama,
prinsip gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat sangat jelas terlihat dalam
komunitas Baduy. Siapa pun dia, apa pun agamanya, tidak begitu penting. Ketika
tetangganya membutuhkan bantuan, mereka secara sukarela saling membantu,
misalnya; dalam membangun pemukiman, Orang Baduy secara bersama-sama secara
sukarela saling bergotong royong. Kedua, dalam hal ritual keagamaan.
Meskipun kepercayaan mereka sudah berbeda, akan tetapi warga Baduy Muslim
kerapkali mengikuti tradisi-tradisi atau ritual yang sudah diberlakukan secara
turun temurun oleh nenek moyang mereka. Misalnya dalam tradisi Seba. Warga
Baduy Muslim kerap kali memperingatinya secara meriah. Hal ini menurut
kepercayaan mereka merupakan tradisi yang harus terus dilestarikan sampai kapan
pun sebagai bentuk ungkapan rasa syukur atas anugrah Tuhan yang telah diberikan
kepada mereka. Ketiga, meskipun identitas keagamaan mereka bukan lagi
sebagai penganut agama sunda wiwitan, akan tetapi hal itu tidak membuat
hubungan kekerabatan mereka terputus. Identitas agama bagi kepercayaan Orang
Baduy bukan sebagai penghalang bagi mereka untuk memutuskan tali
silaturrahmi di antara mereka. Bahkan dalam kepercayaan Orang Baduy,
meskipun mereka saat ini sudah banyak berubah karena disebabkan pelanggaran
adat atau pikukuh Baduy, akan tetapi dalam kepercayaan Baduy mereka
tetaplah satu kasatuan yang utuh. Orang Baduy masih meyakini bahwa mereka
adalah berasal dari satu keturunan yang tidak boleh terpecah hanya karena
berbeda status atau kepercayaan. Bukti dari adanya kepercayaan ini terlihat
dari upacara Seba yang selalu dilakukan oleh Orang Baduy setiap tahun
sekali sebagai bentuk ungkapan rasa syukur dan pengakuan terhadap mereka yang
berbeda.
Dalam wawancara dengan salah satu
warga Baduy bernama H. Media yang sudah menjadi muslim dijelaskan bahwa
kekerabatan mereka tetaplah terikat meskipun kepercayaan yang dianutnya
berbeda. Sesekali ia mengunjungi sanak keluarganya di Baduy Dalam dan Baduy
Luar yang masih menganut agama Sunda Wiwitan. Dalam kepercayaan Orang Baduy,
saudara tetaplah saudara dan tidak akan berubah dan terputus sampai kapanpun
meskipun meraka mengalami perubahan termasuk dalam hal kepercayaan beragama. Hal
ini dipercayai oleh Orang Baduy karena mereka masih memegang prinsip bahwa
Orang Baduy berasal dari satu keluarga.
3. Status
Muslim Baduy
Pada masyarakat Baduy Tangtu
perkawinan hanya dilakukan secara adat Baduy saja. Berbeda dengan Baduy
Panamping, biasanya setelah kawin adat selesai dilakukan, maka mempelai
laki-laki dengan ditemani salah seorang kerabatnya pergi ke amil
dikampung Cicakalgirang. Di kampung Cicakalgirang ini-lah satu-satunya kampung
Baduy yang sebagian besar penduduknya sudah beragama Islam. Keberadaan kampung
Islam di Baduy ini, bagi masyarakat Baduy dianggap perlu sebagai salah satu
bentuk pengesahan perkawinan yang telah dilakukan. Proses ini menarik untuk
diamati, masyarakat Baduy yang kepercayaannya berbeda dengan umat Islam
umumnya, tetapi dalam tradisi perkawinan ia tetap mengacu kepada aturan yang
diterapkan oleh agama Islam.
Jika dilihat dari ketentuan adat
ini, maka ada beberapa pesan yang bisa ditemukan; Pertama, masyarakat
Baduy merasa penting adanya ketentuan proses perkawinan yang disahkan tidak
hanya menurut adat, akan tetapi juga menurut agama konvensional dan hukum
negara.Kedua, pola pernikahan seperti ini dilakukan oleh masyarakat
Baduy sebagai rasa hormat akan kesultanan Banten yang pernah menjadi raja
(penguasa) di tanah Banten yang beragama
Islam termasuk didalamnya tanah Baduy, dan hal ini diwujudkan dengan ketentuan
adat yang mengharuskan pernikahan masyarakat Baduy memakai cara adat dan hukum
Islam. Khusus bagi masyarakat Baduy Panamping (Luar), sebelum proses pernikahan
di mulai, mempelai laki-laki mengucapkan ikrar (syahadat) dengan bahasa sunda
kuno. Syahadat itu hampir mirip dengan kalimat sahadat yang dipakai dalam
Islam. Sedangkan dalam proses ritual perkawinan, di masyarakat Baduy Tangtu
(Dalam) yang disebut dengan kawin batih (kawin kekal) dihadapan Puun,
kedua mempelai dan orang tuanya mengucapkan sadat tangtu, yang berbeda
isinya dengan syahadat Panamping.
d. Konversi Agama Bagi Orang Baduy
Kedekatan Orang Baduy terhadap
agama Islam bukanlah hal yang baru. Islam dan Baduy dalam catatan sejarah
ternyata mempunyai hubungan yang kuat dan lama. Di antara data sejarah yang
menguatkan hal tersebut adalah salah satu cerita yang menjelaskan bahwa pada
zaman dahulu ada seorang pangeran yang cukup terkenal karena kesaktiannya.
Pangeran itu dikenal dengan nama Pangeran Astapati atau disebut dengan nama
lain Pangeran Mulyasmara. Menurut ceritanya, pangeran ini tidak hanya dikenal
karena kesaktiannya, akan tetapi juga dikagumi akan kedalaman ilmunya. Menurut
riwayatnya, Pangeran ini diperkirakan berasal dari masyarakat Baduy yang masuk
Islam dan mengabdikan dirinya kepada kesultanan Banten. Makam beliau terletak
di desa Kasunyatan Kecamatan Kasemen Kota Serang. Dalam sumber yang lain, Islam
pertama dikenal oleh masyarakat Baduy di kampung Cicakal Girang sejak kurang
lebih 300 tahun silam atau kira-kira tahun 1680-an Islam dianut oleh masyarakat
Baduy di kampung Cikakal Girang.[4][30]
Dalam kehidupan keseharian Orang Baduy, meskipun secara identitas keagamaan
mereka sudah berubah, akan tetapi terkadang dalam prilaku sehari-hari; baik itu
cara berpakaian, bekerja, bahkan beribadah pun identitas ke-Baduy-an mereka
tidak hilang. Orang Baduy Muslim
pun dalam hal adat masih tetap mereka ikuti, karena mereka menganggap sebagai
warisan leluhur yang harus dijaga kelestariannya. Jika mengacu pada kriteria
konversi agama yang dikemukakan oleh Schwartz, maka konversi agama yang
dilakukan oleh orang Baduy masuk katagori konversi yang berlangsung melalui proses bertahap
sesuai dengan perubahan ‘diri’ yang berkesinambungan.
William James mengungkapkan bahwa
faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya konversi agama antara lain
disebabkan karena faktor perubahan status. Perubahan status yang terjadi dalam
diri seseorang dapat menyebabkan terjadinya konversi agama. Apalagi perubahan
itu terjadi secara mendadak. Seperti perceraian atau kawin dengan orang yang
berlainan agama.
Kondisi demikian juga terjadi
pada beberapa orang Baduy. Meskipun dahulu adat Baduy melarang warganya untuk
melangsungkan pernikahan dengan warga non Baduy. Akan tetapi saat ini sudah
berubah. Orang Baduy mulai sadar bahwa perubahan akan tetap terjadi meskipun
aturan adat sudah jelas melarang dengan ketat. Saat ini sudah dibentuk aturan
adat (pikukuh) Baduy terkait dengan hukum pernikahan warga Baduy dengan warga
non Baduy. Dalam aturan adat itu dijelaskan bahwa jika ada salah seorang warga
Baduy yang melangsungkan pernikahan dengan warga non Baduy, maka ia secara
otomatis tidak diakui lagi sebagai warga Baduy. Identitas ke-Baduyyannya di
cabut. Dari penelusuran dilapangan, saat ini sudah banyak warga Baduy yang
berpindah agama menjadi Islam disebabkan karena mereka menikah dengan warga
Baduy yang sudah beragama Islam atau warga non Baduy yang beragama Islam.
Ketika penelitian ini dilakukan, saya tidak menemukan data adanya warga Baduy
yang berpindah agama menjadi penganut agama Kristen baik karena faktor
perkawinan atau yang lainnya.
Jika mengamati sejarah suku Baduy
dan perkembangannya sampai hari ini terutama terkait dengan keagamaannya
sangatlah unik dan menarik. Ketika masa Orde Lama dan Orde Baru dengan kekuatan
hegemoni Negara melakukan intervensi terhadap praktek pengamalan keagamaan
masyarakat dengan memilah agama resmi dan agama tidak resmi. Pendefinisian
agama resmi oleh Negara yang mengacu pada kepentingan agama “resmi” dan yang
membatasi diri pada formulasi agama semitis (agama langit), dalam kenyataannya
telah membawa implikasi yang serius dalam pelanggaran hak berkeyakinan terutama
bagi mereka penganut kepercayaan lokal seperti komunitas suku Baduy. Bahkan
diskriminasi tersebut juga terjadi sampai hari ini. Masalah kebebasan
mengekspresikan keyakinan agama terutama bagi kepercayaan-kepercayaan
lokal—termasuk di dalamnya agama Orang Baduy—masih sangat memprihatinkan. Para
penganut kepercayaan tersebut dianggap tidak beragama sebelum masuk kedalam
salah satu agama yang diakui oleh pemerintah.
Wujud adanya hegemoni Negara atas
komunitas adat membuat mereka secara terpaksa melakukan pindah agama dengan
memilih agama resmi yang sudah ditentukan oleh Negara. Jika tidak demikian,
identitas keagamaan mereka tidak diakui oleh Negara. Bahkan dalam komunitas
Baduy juga bisa dilihat bagaimana mereka secara berpura-pura memeluk agama
Islam, akan tetapi sebenarnya mereka tidak beragama Islam. Ke-Islam-an hanya sebagai
sarana pengakuan atau mencari legalitas saja. Misalnya, dalam praktek
perkawinan Baduy. Meskipun mereka tetap mengakui sebagai penganut agama “Sunda
Wiwitan” akan tetapi dalam aturan adat, pasangan suami istri yang sudah
disahkan secara adat, diwajibkan menikah secara hukum Islam. Hal ini harus
dilakukan karena mereka menyadari bahwa komunitas Baduy adalah bagian dari
warga Negara Indonesia. Karena itu, Orang Baduy harus tunduk dan patuh dengan
berbagai aturan yang sudah ditetapkan termasuk dalam hal tatacara perkawinan
yang sudah ditetapkan dalam Undang-undang Perkawinan Negara Republik Indonesia.
Dalam kehidupan
keagamaan masyarakat Baduy, proses Islamisasi dilakukan dilakukan secara
berangsur-angsur dengan membutuhkan waktu yang sangat lama. Proses tersebut
berlangsung secara alami sehingga individu tidak menyadari kapan keyakinan dan
kepercayaan terbentuk dalam dirinya. Tidak ada peristiwa dramatis yang
menyertai proses ini, karena proses ini lebih merupakan proses belajar sosial.Yang
menariknya, meskipun masyarakat Baduy mengatakan bahwa mereka juga termasuk
beragama Islam, akan tetapi faktanya keagamaan mereka masih bercampur dengan
tradisi kepercayaan leluhur mereka. Karena alasan itu, maka wajar jika mereka
masih tetap dianggap sebagai bukan penganut agama Islam yang sebenarnya,
identitas keislaman mereka masih tetap diragukan atau tidak sempurna. Dari
beberapa kasus keluarga yang melakukan konversi agama menjadi penganut agama
Islam, hampir semuanya mengatakan bahwa alasan mereka masuk Islam karena
tertarik dengan ajaran Islam itu sendiri yang disampaikan oleh para juru dakwah
Islam di daerah mereka. Alasan mereka memilih Islam sebagai agama pilihan
karena mereka menganggap bahwa antara Orang Baduy dan agama Islam mempunyai
hubungan yang lama dan erat. Bukti kedekatan itu misalnya terlihat dari
penyebutan identitas agama mereka dengan sebutan ”Slam Sunda Wiwitan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar